Rabu, 25 September 2013

Oh ya, omong-omong, buku yang membuatku babak belur itu--lagi-lagi--bergenre chicklit. Judulnya 'God-shaped Hole' oleh Tiffanie DeBartolo. Temukan Jacob disana, temukan hati yang meluap campur aduk di ujung cerita. 
Jika kau sebuah buku, pernahkah kau membayangkan seperti apa rupamu?

Nah, bayangkanlah.
Kalau aku adalah sebuah buku, jenis buku macam apa yang akan mengisi lembar demi lembarnya. Akan setebal apa buku kehidupan itu jadinya. Apa warna sampul dan kertasnya, gambar apa yang muncul menjadi simbol hidupku di bagian mukanya. Dan yang paling penting, apa judul yang tepat untuknya. Untuk buku hidupku. Kalau boleh menerka, buku itu akan bersampul warna merah bata. Merah yang nyalanya cenderung gelap, persis seperti darah tua yang siap diregenerasi darah baru dari sumsum di belakang. Warna yang kukagumi karena seperti bernyawa. Mungkin karena dari awal kuanggap itu darah, warna merah jadi seperti mengalir. Dan aku akan dengan bangga menjadikannya sampul depan dan belakang dari buku hidupku, andai aku punya andil untuk mengubahnya. Soal judul, jujur, aku sendiri takut membayangkannya. Judul itu citra utama, satu dua patah kata di bagian muka yang memjelaskan isi keseluruhan buku akan seperti apa. Apapun itu, kuharap judul buku hidupku adalah barisan kata sederhana. Yang saat orang membacanya, senyum akan mengembang di bibirnya. Kemudian aku akan dipeluk dan dibawa untuk dibaca saat butuh bahagia. Dan bukan dengan menyerngit dahi lalu lari.
Ah, kata itu
lima huruf berpadu jadi tombak mata satu
sekelebat mata kau tangkap dan langsung membuat ngilu
bukan cuma cicak yang diam-diam merayap malu-malu
bukan cuma bunglon yang dalam senyap menyergap kupu-kupu
gerombolan rindu itu sanggup mendesak nyaliku
hingga yang tersisa hanya aku
Ah, rindu. Kata apa itu. Bukankah rindu adalah gejolak yang membuncah saat kau menginginkan kembali iring-iringan yang sudah lalu? Persis seperti penjara, tapi membuat si tersangka candu. Terus ingin terjerumus, terus dan terus, hingga tak peduli pada hati yang kian sendu, sampai hanya bisa tersenyum kelu.
Ah, rindu. Benarkah penawarmu hanya dengan bertemu? 
Tidakkah ada cara lain untuk meredammu, misalnya,
dengan menukar aku ke dalam senyap? 
Aku hanya ingin lenyap.
Apa rasanya menahan buncahan rasa yang kau sendiri tak mengerti dan sungguhan paham. Seperti mencegah ribuan kupu-kupu keluar dari jejaring halus, yang bila tak didekap baik-baik, ada saja kupu-kupu yang berhasil keluar. Diam-diam.
Bukankah, selayaknya ribuan kupu-kupu yang ingin menghirup bebas dan mengepak sayap, akumulasi buncahan rasa itu juga ingin mendapat kebebasannya. Merdekanya. Tak perlu seluruh dunia tahu, buncahan itu hanya ingin seleganya terbang. Semerdekanya perasaan.
Tak perlu naif, bebas pun akan ingin berhenti suatu saat. Di pemberhentian yang tepat. Segirangnya kupu-kupu terbang, masa hidupnya singkat, tetap ingin punya tempat mendarat. Terlebih buncahan rasa itu, yang dibiarkan bebas terlalu bebas, tiba saatnya letih dan ingin istirahat. Di tangan yang tepat, didekap yang erat. 
Buncahan rasa itu tak akan terkekang. Dipegang erat tidak berarti diikat. Hanya memberi tempat bersandar, tanpa perlu melanglang terlalu lebar. Toh, di ruang dekap itu ada dunia kecil yang bisa dijelajah. Tempat dimana buncahan tak perlu lagi berteriak dalam pikirannya sendiri, tak perlu lagi sibuk menunjukkan eksistensi.
Dalam dekap yang diharap selamanya itu, sang buncahan rasa terlelap.
Menikmati bahagianya sendiri. Diam-diam.

Satu Dua Tiga

Satu
Dua
Kemudian kita

Tiga
Empat
Kemudian rapat

Lima
Enam
Kemudian tenggelam

Tujuh
Delapan
Kemudian bergandengan

Sembilan
Sepuluh
Kemudian meluruh

Kita rapat, tenggelam, bergandengan, meluruh. Dalam cinta.

Satu Dua Tiga

Satu
Dua
Kemudian kita

Tiga
Empat
Kemudian rapat

Lima
Enam
Kemudian tenggelam

Tujuh
Delapan
Kemudian bergandengan

Sembilan
Sepuluh
Kemudian meluruh

Kita rapat, tenggelam, bergandengan, meluruh. Dalam cinta.
Dan, damai. Pada akhir pertemuannya, kurasakan kata itu lebih melunak. Pikiranku serta merta seperti ditanak, lembek. Gagasan itu nyatanya tak buruk, alih-alih membuatku malu. Karena saat itu, aku menerima damaimu sambil tersenyum senang. Aku menang.
Kini, kubiarkan kita bersama jalan bersisian. Meski tak selalu kutoleh, kamu toh akan terus melekat, lebih erat dari bayangan. Tak apa.
Kita berteman ya, Takdir.
Kalau diingat-ingat, sempat kupikir ini seperti tak berkesudahan. Aku yang terlalu lelah sekaligus terlalu keras kepala, kamu yang melelahkan sekaligus tak terkalahkan. Merobohkanmu itu seperti mendorong air laut agar menepi ke sungai, merubah alirannya hingga muara segala air bukan lagi samudra. Upayaku seperti ditempeleng dengan Jurus Tapak Buddha, sekeras-kerasnya tenaga dalam kutembakkan, sekeras itu juga ia terlempar. Menabrakku kembali, sama kerasnya, hingga aku lagi-lagi tersungkur dan kamu lagi-lagi hanya tersenyum.
Beri aku seikat bunga cantik itu. Sesekali saja. Kalau tidak, kupaksa kamu melihat taman bunga di halaman belakang rumah kita nanti. Ah, "rumah kita nanti". Frase yang jejaknya sejelas tapak-tapak kaki di bibir pantai. Yang juga mudah menghilang termakan ombak. 
Jadi, jangan berhenti, Sayang. Kita harus terus melangkah. Menghentikan ombak menghapus langkah, jelas mustahil. Untuk itulah kita harus terus menciptakan langkah baru. Kalau kamu lelah, aku akan melangkah untukmu, pun sebaliknya. Kalau kita berdua sama-sama lelah, kuminta Tuhan mengganti kaki-kaki ini dengan yang lebih baik agar lebih bisa mengimbangi langkahmu, pun sebaliknya. 
Tapi sebelum melangkah, jangan lupa seikat bunga mawar itu.
Bisakah kamu mencium wanginya? Tidakkah bunga itu segar, Sayang? Tapi, tak terjangkau. Aku hanya bisa menatap sembari membayangkan aromanya. Kenapa kamu, sekali saja, tidak terpikir memberikannya padaku? Tidakkah kamu pernah memikirkan untuk menghadiahkannya padaku? Oh, alasan itu. Aku tidak suka pria romantis. Hei, aku wanita, Sayang. Aku dilahirkan dan ditakdirkan untuk menyukai hal-hal sederhana yang manis, termasuk rangkaian bunga. Aku bisa kok, membelinya sendiri. Tapi menerimanya dari tanganmu, merasakan bekas genggaman hangat di pegangannya, lalu menyesap baunya di hadapanmu. Tidakkah kamu pernah membayangkan seperti apa rona bahagiaku? Tidakkah kamu bahagia melihatku dibahagiakan olehmu?
Saat ini kita sedang menguatkan langkah. Ancang-ancangmu belum goyah, tapi jelas mulai payah. Aku pun begitu. Sulit berdiri membangun fondasi, sulit melangkah tanpa pernah benar-benar tidak menoleh. Hanya masalah kecil, Sayang. Kuyakinkan kau itu hanya masalah kecil. Kelak akan ada yang lebih besar, menghantam dan membuat tulang-tulangmu patah, sendiku luluh lantak. Tapi, sudah kuterbangkan janji setinggi surga pada Tuhan, untuk menurunkan yang lebih baik seandainya kakiku tak lagi mampu mengikuti langkahmu. Dan aku mungkin masih akan memandangimu.
Saat ini kita sedang menguatkan langkah. Ancang-ancangmu belum goyah, tapi jelas mulai payah. Aku pun begitu. Sulit berdiri membangun fondasi, sulit melangkah tanpa pernah benar-benar tidak menoleh. Hanya masalah kecil, Sayang. Kuyakinkan kau itu hanya masalah kecil. Kelak akan ada yang lebih besar, menghantam dan membuat tulang-tulangmu patah, sendiku luluh lantak. Tapi, sudah kuterbangkan janji setinggi surga pada Tuhan, untuk menurunkan yang lebih baik seandainya kakiku tak lagi mampu mengikuti langkahmu. Dan aku mungkin masih akan memandangimu.
Sekarang, kita sedang melangkah. Terlihatkah jalan lurus di depan itu, Sayang? Tidakkah sisi-sisi perjalanan kita begitu indah? Tidakkah tanah kita berpijak penuh bunyi gemerisik yang asyik? Bayangkan. Kamu dan aku, hanya berdua, tanpa iring-iring masalah dunia. Bergandengan di bawah payung mapel merah keemasan yang megah, dijatuhi sinar matahari yang ruah. Hanya tawamu dan suara sepatu yang menginjak daun mapel kering satu-satu. Aku tidak akan tertawa, Sayang. Aku hanya akan memandang, mengingat tiap detil, kemudian membekukannya dalam ingatan.
Sayang, masa depan bukan milikku. Bukan milikmu. Takdir itu segaris dengan aku dan kamu, tegak lurus dengan Tuhan. Aku dan kamu, dalam perjalanan yang bahkan belum terjadi ini, marilah saling merapatkan janji. Menegakkan diri. Memantapkan langkah sendiri-sendiri. Untuk kemudian menjajal semua yang telah ditapaki, dalam waktu bernama nanti.

Jadi, bunga mawar itu disimpan untuk dijadikan cincin? Manis sekali, Sayang.
Tidakkah kamu ingin masa depanmu berisi aku? Tidakkah kamu ingin kelak yang menyambutmu adalah anak-anak yang memanggilku "Ibu"? Tidakkah kamu ingin kelak rumah minimalis berwarna abu-abu itu temboknya menggores cerita aku dan kamu? Tidakkah kamu ingin halaman rumah itu tidak melulu berisi batu-batu, tapi juga tertanam barisan bunga merah jambu? Tidakkah kamu ingin menjadi juri nomor satu setiap kali kusajikan masakanku?
Semoga kita masih melangkah. Aku sedang bicara atas nama masa depan, atas nama manusia yang berdiri dengan kekuatan penuh sekaligus menyimpan rapuh. Aku sedang memerhatikanmu, perjalanan kita, langkah-langkah yang sedang dan sudah kita buat. Sudah banyak yang terhapus ombak, Sayang. Langkah kita terus memperbanyak dirinya, membuka jalan untuk lorong panjang di depan. Aku bertanya-tanya, apa kamu masih melangkah bersamaku, pun sebaliknya.
Dan segera saja aku mencari-cari kardigan tebal lalu menyemprot sedikit parfum. Adrian itu pria sibuk yang selalu diserempet jadwal, mudah baginya sampai di satu tempat hanya dalam beberapa menit. Saat kami akhirnya bertemu, aku gagal menahan diri untuk tidak menyambutnya dengan senyum tiga jari. Aku bahkan memeluknya erat sekali.
"Kalau kangen mestinya bilang," sindir Adrian.
Memangnya kapan aku tidak merindukanmu, Pangeran? Kapan aku tidak lelah menunggu hanya untuk mendengar suaramu? Kapan aku pernah sehari saja absen mencemaskan jadwal-jadwal yang mengeroyokmu? Kalau pikiranku adalah sekolah, kamu murid dengan tingkat bolos paling rendah.
“Apa masalahnya? Aku ingin punya anak.”

Senja menantangku lagi. Kali ini tubuhnya kecilnya bangkit kemudian berkacak pinggang di depanku. Aku menggeleng muak.

“Kalau kau memang ingin punya anak, kenapa kau tidak katakan pada Minggu? Kau sakit hati karena pria yang berselingkuh di belakangmu itu malah menceraikanmu padahal kau sudah rela dijadikan istri kedua. Aku tahu aku hanya pelarian, aku tahu pernikahan penuh masalah ini juga balas dendam. Tapi, kupikir kita sama-sama tahu ini akan berjalan baik-baik saja kalau kita tidak membahas masa lalu.”

“Kau yang membahas masa lalu!”

“Kau yang memaksaku."
Terima kasih untuk yang sudah setia membaca. Terima kasih untuk yang selalu menyimak dan menanti perkembangan Pandora. Setelah angka 4444 terlewat, aku menantikan angka 8888 di kolom pembaca. Kalau suka angka 4 karena tanggal lahir, suka angka 8 karena bulan lahir. Hahaha.
Pikiran bisa sempit dan luas, bisa mendadak jadi lapangan selebar dunia atau kotak perhiasan kecil tanpa sela. Kalau kau mau, pikiran bisa jadi yang mana saja. Aku lebih senang memikirkan pikiran berbetuk persis wujudku sendiri. Yang saat sedang kacau, kubayangkan aku sedang meringkuk sambil memegangi kepala. Yang saat sedang bahagia, kubayangkan aku sedang tertawa sembari merentang tangan selebar-lebarnya. Kalau semua sudah kuhubungkan dengan diri sendiri, tentu tak akan kubiarkan pikiranku menanggung hal-hal tidak penting. Kan?
Bosan dengan "Bahagia itu sederhana", kupikir kini "Bahagia itu diri merdeka".
Bahagiakah kau dengan segala pikiran yang memberatkan itu?
Pikiran bisa sempit dan luas, bisa mendadak jadi lapangan selebar dunia atau kotak perhiasan kecil tanpa sela. Kalau kau mau, pikiran bisa jadi yang mana saja. Aku lebih senang memikirkan pikiran berbetuk persis wujudku sendiri. Yang saat sedang kacau, kubayangkan aku sedang meringkuk sambil memegangi kepala. Yang saat sedang bahagia, kubayangkan aku sedang tertawa sembari merentang tangan selebar-lebarnya. Kalau semua sudah kuhubungkan dengan diri sendiri, tentu tak akan kubiarkan pikiranku menanggung hal-hal tidak penting. Kan?
Bosan dengan "Bahagia itu sederhana", kupikir kini "Bahagia itu diri merdeka".
Bahagiakah kau dengan segala pikiran yang memberatkan itu?
Rasanya tidak perlu banyak berkata-kata. Cintaku terlalu panjang untuk dibeberkan begitu saja. Kalau kamu bersedia, jadikan aku Tukang Pos-mu dan akan kutunjukkan isi dunia.
"Kamu itu simpul mati dalam ikatan. Titik akhir sebuah harapan."
Ayo memejam, aku menerbangkan doa untukmu dari kamar kost yang temaram.
Aku yakin. Kamu ada di ujung jalan sana, berdiri dengan senyum selebar telinga.
Tolong hapus semua awan hitam di kepalaku, Sayang. Tolong bebaskan aku dari semua kekeraskepalaan yang menjerat terlalu erat. Tolong ingatkan aku bahwa hidup adalah seindah-indahnya waktu bersama seseorang yang kusayang. Tolong cepatlah datang, lalu jangan pernah pergi lagi.
Tunjukkan lagi padaku, cara kembali pada cinta.
"Dan jika kubuka hati ini lagi, kuharap kau ada di akhir cerita untukku."
Kenapa harus kamu. Seperti lirik yang menemukan nada tepat, seperti itulah aku menemukanmu sekejap kilat. Buncahan yang tiba-tiba menyembur ke seluruh wajah lalu debar mengganggu yang candu. Aku tahu kamu nada dan melodi yang tepat, aku tahu kamu akhir dari semua doa yang tertambat.
Jadi, masihkah kamu bertanya kenapa harus kamu?
Nih, salah satu kutipan dari Nathan Callaghan, tokoh novel baruku.
"Cinta itu tidak menuntut? Bagaimana bisa cinta tidak menuntut? Tentu saja cinta menuntut. Memangnya siapa yang tidak mau dipeluk di pagi hari, menikmati senyum seseorang yang paling dicintai?"

Dah. Sampai ketemu lagi! Aku kangen menulis bebas disini.
Ada apa?
Begitulah adanya. Kau menyimpulkan aku mati rasa, kupikir aku hanya sedang tak ingin merasa. Kalau dulu hujan begitu terasa seperti "kita", kini hujan hanya tetesan air dari semesta. Yang kuharap, saat basahnya meresapi kulitmu, kau tahu disitu aku selalu ada. Serpihan aku yang selalu terbawa, tapi kini tanpa air mata.
Kutapaki jalan yang dingin, kakiku ngilu tapi tak terluka. Rasanya sakit hingga ke tulang, rasanya perih tak tertahan. Terlebih saat sekali lagi, aku sadar sakitnya bahkan tak membuatku berairmata. Rasanya remuk tapi aku tak berdaya, bahkan untuk sekadar bilang kalau aku ingin menangis saja, aku terbata-bata.
Aku lelah. Aku kalah.
Air mata tidak bisa mengering, Sayang. Mungkin kini giliranmu berairmata.

How Do I Know?

Cucu   : Bagaimana kau tahu kakek adalah jodohmu?
Nenek : Nenek tahu saja.
Cucu   : Bagaimana aku tahu siapa jodohku?
Nenek : Kau akan tahu saja.
Cucu   : Bagaimana cara aku mengetahuinya?
Nenek : Karna ada perasaan yang hanya bisa dirasakan oleh kalian berdua.
Agar aku tahu
Katakan, jelaskan, tunjukkan, perlihatkan, dan buktikan itu padaku

Hanya agar aku tahu
Bersusahlah dalam payah agar kita tak dirongrong waktu


Dan supaya aku tahu
Relalah mengorbankan bahagiamu sejenak dan lihat aku


Pada akhirnya aku tahu
Bukan dunia melainkan kau yang tak sudi menunggu

Kau tahu, aku selalu tahu
Aku selalu tahu dan akan terus tahu
Karena aku rapat di bayanganmu
Entah kenapa tiba-tiba pingin membahas galau. Sebenarnya semua orang pasti pernah galau, hanya saja pelampiasannya berbeda. Yang aku nggak habis pikir, kenapa ada orang-orang galau-nya muncrat-muncrat sampai rasanya seisi dunia harus tahu. Yah, itu hak masing-masing. Mau galau sambil kayang atau apapun. Tapi, bukankah akan lebih baik kalau nggak semua orang bisa tahu apa yang kita rasakan. Rasanya nggak enak lho di-judge jelek cuma karena ekspresi cinta-galau yang berlebihan.

Lagi-lagi, semua pilihan, kan.

mommy kece

Kuliah, kerja, menikah. Fase setelah itu mengandung, melahirkan, membesarkan, dan merawat. Setelahnya kita-wanita-menua dan menikmati usia. Banyak dari teman-temanku yang ingin menikah muda karena ingin cepat menimang bayi. Ada juga yang karena nggak ingin kelihatan tua padahal anaknya masih muda. Bahkan ada beberapa temanku yang menargetkan menikah dua-tiga tahun lagi. Dan aku ngeri membayangkannya.
Aku bukan termasuk pengikut menikah muda. Aku termasuk tipe yang nggak ambil pusing masalah usia. Yah, bukan berarti aku ingin menikah di usia 30an. Aku hanya nggak terpikir untuk melepas masa merdeka sebagai lajang di usia yang seharusnya masih bisa dihabiskan untuk senang-senang sendiri. Aku masih ingin menyelesaikan banyak desain rumah, masih ingin jalan-jalan berburu buku di Gramedia sendirian, masih ingin ke Jepang sendirian. Banyak hal-hal yang masih ingin kulakukan sebagai seorang single woman.
Temanku pernah bilang, "Nanti anakmu masih kecil, kamu udah tua banget!"
Dan aku selalu membalas, "Nggak masalah tuaan dikit. Yang penting tetap jadi Mommy kece yang jiwanya muda."
Sejak itu, aku jadi 'Mommy Kece'.
Aku memang ingin sekali di panggil Mommy. Nggak tahu deh kalau nanti ternyata suamiku ingin dipanggil Ayah atau Papa. Jadilah anak-anakku bakal manggil, "Mom, mana Ayah?"
Aku ingin jadi seorang Ibu. Aku pasti ingin. Semua wanita ingin.
Membicarakannya dari sekarang, memikirkan seperti apa anak kami nanti, mengkhayalkan perjodohan, sampai sekolah bersama. Rasanya semua wajah jadi cantik saat berkumpul dan membicarakannya. Aku termasuk yang sering bercanda kalau membicarakan soal suami dan anak. Karena pada dasarnya aku memang belum membayangkan terlalu detail mengenai mereka. Tapi, aku bahagia sekali membicarakan ini bersama teman-temanku yang semua hatinya keibuan itu. Apalagi saat mereka memanggilku 'Mommy Kece'.
Tulisan ini mungkin bakal kutertawakan, kalau suatu saat aku benar-benar dipanggil Mommy.

Berbahagialah ya, cewek-cewek. Kita nanti jadi seorang Ibu lho! :)
Aku dan kamu menjalin jemari
erat, sangat erat, hingga seakan jemari itu melekat

Mati-matian aku dan kamu bertahan
aku tak peduli sakit, kamu tak peduli mati

Lagipula,
siapa yang punya daya atas jatuh cinta?
Apa kamu cinta aku?
Itu pertanyaan sulit. Karena jika aku menjelaskan jawabannya, hatimu akan remuk oleh besarnya. Simpan untukmu sendiri jawabanku, dan aku juga akan menyimpan kamu hati-hati. Di hati.
Apa kamu cinta aku?
Itu pertanyaan sulit. Karena jika aku menjelaskan jawabannya, hatimu akan remuk oleh besarnya. Simpan untukmu sendiri jawabanku, dan aku juga akan menyimpan kamu hati-hati. Di hati.