Selasa, 11 September 2012

Sejarah Batik Indonesia


Sejarah Batik Indonesia

Sejarah Batik Indonesia - Batik secara historis berasal dari zaman nenek moyang yang dikenal sejak abad XVII yang ditulis dan dilukis pada daun lontar. Saat itu motif atau pola batik masih didominasi dengan bentuk binatang dan tanaman. Namun dalam sejarah perkembangannya batik mengalami perkembangan, yaitu dari corak-corak lukisan binatang dan tanaman lambat laun beralih pada motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang beber dan sebagainya. Selanjutnya melalui penggabungan corak lukisan dengan seni dekorasi pakaian, muncul seni batik tulis seperti yang kita kenal sekarang ini.

Jenis dan corak batik tradisional tergolong amat banyak, namun corak dan variasinya sesuai dengan filosofi dan budaya masing-masing daerah yang amat beragam. Khasanah budaya Bangsa Indonesia yang demikian kaya telah mendorong lahirnya berbagai corak dan jenis batik tradisional dengan ciri kekhususannya sendiri.

Perkembangan Batik di Indonesia

Sejarah pembatikan di Indonesia berkaitan dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan kerajaan sesudahnya. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta.

Kesenian batik merupakan kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluarga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam keraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar keraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar keraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.
  
Dalam perkembangannya lambat laun kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga istana, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria.

Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri. Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai terdiri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari : pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanah lumpur.

Jadi kerajinan batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit dan terus berkembang hingga kerajaan berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah usai perang dunia kesatu atau sekitar tahun 1920.

Kini batik sudah menjadi bagian pakaian tradisional Indonesia. Dan pada hari Jumat tanggal 2 Oktober tahun 2009, Educational Scientific and Cultural Organisation (UNESCO), menetapkan batik sebagai warisan budaya milik Indonesia. Hari yang dinanti-nantikan oleh seluruh penduduk ini pun dijadikan sebagai Hari Batik.

Sejarah Batik Indonesia - Batik secara historis berasal dari zaman nenek moyang yang dikenal sejak abad XVII yang ditulis dan dilukis pada daun lontar. Saat itu motif atau pola batik masih didominasi dengan bentuk binatang dan tanaman. Namun dalam sejarah perkembangannya batik mengalami perkembangan, yaitu dari corak-corak lukisan binatang dan tanaman lambat laun beralih pada motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang beber dan sebagainya. Selanjutnya melalui penggabungan corak lukisan dengan seni dekorasi pakaian, muncul seni batik tulis seperti yang kita kenal sekarang ini.

Jenis dan corak batik tradisional tergolong amat banyak, namun corak dan variasinya sesuai dengan filosofi dan budaya masing-masing daerah yang amat beragam. Khasanah budaya Bangsa Indonesia yang demikian kaya telah mendorong lahirnya berbagai corak dan jenis batik tradisional dengan ciri kekhususannya sendiri.

Gila
lagi-lagi kau omong besar soal harga diri
sementara yang kaulakukan seperti mempermalukan diri

Jangan keras kepala
aku, kamu, kita, mereka, semua manusia

Jangan melulu mengeluhkan sakit hati
kau pikir di semesta raya ini hanya kau yang punya hati
sekeras-kerasnya kau berteriak, setidaknya lakukan dalam hati

Dan lagi
bukankah semua yang diobral sejatinya memang bernilai murah?
Gila
lagi-lagi kau omong besar soal harga diri
sementara yang kaulakukan seperti mempermalukan diri

Jangan keras kepala
aku, kamu, kita, mereka, semua manusia

Jangan melulu mengeluhkan sakit hati
kau pikir di semesta raya ini hanya kau yang punya hati
sekeras-kerasnya kau berteriak, setidaknya lakukan dalam hati

Dan lagi
bukankah semua yang diobral sejatinya memang bernilai murah?

Penjaga Hati Malaikat

Hei, Penjaga Hati
Tidakkah kamu lelah selalu berdiri menanti?
Saat pilihan mencekik nyali dan cinta tak berbalas meremuk hati. Saat tulang-tulangmu merapuh letih menanggung sayang yang bahkan secuil pun tak terbalas. Saat langkah yang gagah dan mantap itu melambat, dari cepat ke terseok pasrah.
Tidakkah kamu ingin berhenti?
Saat kepak-kepak sayapmu bahkan tak lagi bisa sekedar mengangkat alih-alih menerbangkanmu. Saat satu dua debu yang menyembur jadi ancaman untukmu. Saat segala keyakinan luruh tersia-sia bagai tak pernah ada.
Tidakkah kamu ingin tahu?
Bahwa mungkin dia bukan malaikat yang tepat untuk membagi sayapnya denganmu. Bahwa mungkin dia bukan malaikat yang akan selalu ada untuk menjaga kepak sayapmu. Bahwa mungkin dia tak rela mematahkan sayapnya demimu.
Atau mungkin,
dia bahkan bukan malaikatmu.

Penjaga Hati Malaikat

Hei, Penjaga Hati
Tidakkah kamu lelah selalu berdiri menanti?
Saat pilihan mencekik nyali dan cinta tak berbalas meremuk hati. Saat tulang-tulangmu merapuh letih menanggung sayang yang bahkan secuil pun tak terbalas. Saat langkah yang gagah dan mantap itu melambat, dari cepat ke terseok pasrah.
Tidakkah kamu ingin berhenti?
Saat kepak-kepak sayapmu bahkan tak lagi bisa sekedar mengangkat alih-alih menerbangkanmu. Saat satu dua debu yang menyembur jadi ancaman untukmu. Saat segala keyakinan luruh tersia-sia bagai tak pernah ada.
Tidakkah kamu ingin tahu?
Bahwa mungkin dia bukan malaikat yang tepat untuk membagi sayapnya denganmu. Bahwa mungkin dia bukan malaikat yang akan selalu ada untuk menjaga kepak sayapmu. Bahwa mungkin dia tak rela mematahkan sayapnya demimu.
Atau mungkin,
dia bahkan bukan malaikatmu.

Sendiri

"Sayang, lihat!"
Kamu menunjuk girang bulatan matahari yang mulai terik di atas kepala. Sinarnya membuat kulit putihmu kemerahan. Kamu mengeluh sembari menyeka peluh, tapi bibirmu tetap tersenyum penuh. Katamu, alangkah sayangnya kalau bahkan cahaya matahari saja harus dihindari.
"Aku bawa ini,"
Kamu mengeluarkan kotak bekal. Tanpa mengeluarkan kotak bekal untukku, kamu mulai makan sendiri. Dengan mulut penuh, kuikuti gerak mulutmu yang terus bicara sembari mengunyah. Ada nasi di ujung bibir mungil itu. Aku ingin memungutnya dengan bibirku. Ah, khayal busukku.
"Hari ini indah, ya!"
Kamu tertawa. Dengan satu sentakan kecil, kamu mengubah posisi duduk. Aku tidak tahu kenapa. Yang jelas, kamu jadi sangat dekat denganku. Kita berjarak kurang dari sejengkal dan nasi putih yang kamu makan masih menempel di sudut bibir itu.
"Sayang, kamu ada di sini, kan?"
Kamu menyapu sekeliling dengan perlahan dengan mata bulatmu. Mata nanar yang bergetar. Aku melihatmu menelan ludah susah payah, menyaksikan dalam diam kamu yang mulai terisak. Bukan hanya mata, kini bahu dan seluruh badanmu ikut bergetar.
Dan... apa dayaku. Aku terdiam, membatu dalam semua berontakku. Dada kosongku seperti lidah yang kelu, perih berbalut rindu. Jangankan nasi di sudut bibir itu, sekedar menenangkan tangis pilumu, aku tak mampu. Tak akan mampu.
"Hei Sayang, aku pulang, ya,"
Kamu beranjak dari tempat dudukmu. Sembari membereskan kotak bekal, kamu menyeka air mata yang dengan keji terus turun tanpa ampun. Sesaat sebelum kamu melangkah pergi, entah bagaimana, kamu menatap aku.
Menatap ke dalam mataku. Menatap aku yang tergugu. Sangat lama.
"Aku mencintaimu,"
Kamu terus menatapku. Saat tatapan itu meredup, aku berdoa pada Tuhan agar udara yang kering menyampaikan bisik itu di telingamu.
"Aku mencintamu,"
Kamu tersenyum kemudian. Aku tersenyum kelu. Kamu berjalan menjauh, melangkah mantap seperti kemarin-kemarin kamu melakukannya saat berjalan di sampingku.
Tinggal aku disini. Sendiri. Menatap hampa pada nisanku.

Sendiri

"Sayang, lihat!"
Kamu menunjuk girang bulatan matahari yang mulai terik di atas kepala. Sinarnya membuat kulit putihmu kemerahan. Kamu mengeluh sembari menyeka peluh, tapi bibirmu tetap tersenyum penuh. Katamu, alangkah sayangnya kalau bahkan cahaya matahari saja harus dihindari.
"Aku bawa ini,"
Kamu mengeluarkan kotak bekal. Tanpa mengeluarkan kotak bekal untukku, kamu mulai makan sendiri. Dengan mulut penuh, kuikuti gerak mulutmu yang terus bicara sembari mengunyah. Ada nasi di ujung bibir mungil itu. Aku ingin memungutnya dengan bibirku. Ah, khayal busukku.
"Hari ini indah, ya!"
Kamu tertawa. Dengan satu sentakan kecil, kamu mengubah posisi duduk. Aku tidak tahu kenapa. Yang jelas, kamu jadi sangat dekat denganku. Kita berjarak kurang dari sejengkal dan nasi putih yang kamu makan masih menempel di sudut bibir itu.
"Sayang, kamu ada di sini, kan?"
Kamu menyapu sekeliling dengan perlahan dengan mata bulatmu. Mata nanar yang bergetar. Aku melihatmu menelan ludah susah payah, menyaksikan dalam diam kamu yang mulai terisak. Bukan hanya mata, kini bahu dan seluruh badanmu ikut bergetar.
Dan... apa dayaku. Aku terdiam, membatu dalam semua berontakku. Dada kosongku seperti lidah yang kelu, perih berbalut rindu. Jangankan nasi di sudut bibir itu, sekedar menenangkan tangis pilumu, aku tak mampu. Tak akan mampu.
"Hei Sayang, aku pulang, ya,"
Kamu beranjak dari tempat dudukmu. Sembari membereskan kotak bekal, kamu menyeka air mata yang dengan keji terus turun tanpa ampun. Sesaat sebelum kamu melangkah pergi, entah bagaimana, kamu menatap aku.
Menatap ke dalam mataku. Menatap aku yang tergugu. Sangat lama.
"Aku mencintaimu,"
Kamu terus menatapku. Saat tatapan itu meredup, aku berdoa pada Tuhan agar udara yang kering menyampaikan bisik itu di telingamu.
"Aku mencintamu,"
Kamu tersenyum kemudian. Aku tersenyum kelu. Kamu berjalan menjauh, melangkah mantap seperti kemarin-kemarin kamu melakukannya saat berjalan di sampingku.
Tinggal aku disini. Sendiri. Menatap hampa pada nisanku.

Sekelumit, Sedikit

Kalau punya sedikit saja kekuatan untuk sekedar menggerakan tangan, kenapa harus berteriak minta pertolongan? Kenapa mendadak seperti hilang pegangan, padahal masih sanggup menangis dalam sedan.
Menangis pun butuh tenaga, kan. 
Jadi, selagi buliran air hangat itu keluar dari jurang pelupuk mata, kekuatan segumpalan tangan membeku di bagian hati terdalam. Membuang beban.

"Apapun yang sekarang sedang menimpamu, jaga dagumu agar tetap tegak. Jangan biarkan punggungmu membungkuk hanya karena kau merasa kalah." -Darnell kepada Hazel.

Sekelumit, Sedikit

Kalau punya sedikit saja kekuatan untuk sekedar menggerakan tangan, kenapa harus berteriak minta pertolongan? Kenapa mendadak seperti hilang pegangan, padahal masih sanggup menangis dalam sedan.
Menangis pun butuh tenaga, kan. 
Jadi, selagi buliran air hangat itu keluar dari jurang pelupuk mata, kekuatan segumpalan tangan membeku di bagian hati terdalam. Membuang beban.

"Apapun yang sekarang sedang menimpamu, jaga dagumu agar tetap tegak. Jangan biarkan punggungmu membungkuk hanya karena kau merasa kalah." -Darnell kepada Hazel.

Bahagia :-)

Percayakah kamu dengan frase: "Bahagia itu sederhana"?
Dulu sekali, kupikir bahagia harus melulu mengenai semua yang kusukai. Hal-hal yang membuat senyum terkembang dan senyum tergulung senang. Kalau meleset dari ancang-ancang, bahagia bukan lagi bahagia. Sulit memercayai kalau bahagia berwujud sederhana.
  
Yang namanya bahagia, ya harus diusahakan dengan susah payah. Kalau bahagia itu sederhana, kenapa sulit sekali dirasakan?
Tidak sulit ditemukan ternyata. Bahagia ada dimana-mana. Hanya bentuknya yang berbeda. Hanya butuh kita yang lebih peka, lebih perasa dengan suguhan dunia. Kalau dulu kupikir bahagia hanya sebatas cita-cita dan harapan, sekarang secangkir kopi di sore hari saja sudah jadi bentuk bahagia. Memegang dan mencium pipi adik bungsu, mendengarkan musik seenaknya, atau bahkan hanya melamun di penghujung senja.
Bahagia. Jelas-jelas sederhana. Jelas-jelas sebuah pilihan.

Bahagia :-)

Percayakah kamu dengan frase: "Bahagia itu sederhana"?
Dulu sekali, kupikir bahagia harus melulu mengenai semua yang kusukai. Hal-hal yang membuat senyum terkembang dan senyum tergulung senang. Kalau meleset dari ancang-ancang, bahagia bukan lagi bahagia. Sulit memercayai kalau bahagia berwujud sederhana.
  
Yang namanya bahagia, ya harus diusahakan dengan susah payah. Kalau bahagia itu sederhana, kenapa sulit sekali dirasakan?
Tidak sulit ditemukan ternyata. Bahagia ada dimana-mana. Hanya bentuknya yang berbeda. Hanya butuh kita yang lebih peka, lebih perasa dengan suguhan dunia. Kalau dulu kupikir bahagia hanya sebatas cita-cita dan harapan, sekarang secangkir kopi di sore hari saja sudah jadi bentuk bahagia. Memegang dan mencium pipi adik bungsu, mendengarkan musik seenaknya, atau bahkan hanya melamun di penghujung senja.
Bahagia. Jelas-jelas sederhana. Jelas-jelas sebuah pilihan.

Kamu Mau??

Kalau sekarang aku menyatakan cinta, kamu mau?
Kalau sekarang aku menghambur ke pelukanmu, kamu mau?
Kalau sekarang aku menyuguhkan kopi hangat, kamu mau?
Kalau sekarang aku memanaskan air untuk berendam, kamu mau?
Kalau sekarang aku mencuci menyetrika bajumu, kamu mau?
Kalau sekarang aku merapikan tempat tidur kucelmu, kamu mau?
Kalau sekarang aku mengingatkan letak kunci mobilmu, kamu mau?
Kalau sekarang aku mondar-mandir mengepel rumahmu, kamu mau?
Kalau sekarang aku membetulkan letak kacamatamu, kamu mau?
Kalau sekarang aku meringkuk di sampingmu, kamu mau?
Kalau sekarang aku membuatmu sebal karena mengganti channel, kamu mau?
Kalau sekarang aku menelponmu mengingatkan makan siang, kamu mau?
Kalau sekarang aku meraung lalu memukulmu dengan marah, kamu mau?
Kalau sekarang aku menertawakan kelakuan konyolmu, kamu mau?
Kalau sekarang aku memelukmu dari belakang, kamu mau?
Kalau sekarang aku melompat girang karena hamil, kamu mau?
Kalau sekarang aku membacakan dongeng pada anak-anakmu, kamu mau?

Kalau sekarang aku menyuruhmu menunggu dan diam dalam sabar, kamu mau?

Kamu Mau??

Kalau sekarang aku menyatakan cinta, kamu mau?
Kalau sekarang aku menghambur ke pelukanmu, kamu mau?
Kalau sekarang aku menyuguhkan kopi hangat, kamu mau?
Kalau sekarang aku memanaskan air untuk berendam, kamu mau?
Kalau sekarang aku mencuci menyetrika bajumu, kamu mau?
Kalau sekarang aku merapikan tempat tidur kucelmu, kamu mau?
Kalau sekarang aku mengingatkan letak kunci mobilmu, kamu mau?
Kalau sekarang aku mondar-mandir mengepel rumahmu, kamu mau?
Kalau sekarang aku membetulkan letak kacamatamu, kamu mau?
Kalau sekarang aku meringkuk di sampingmu, kamu mau?
Kalau sekarang aku membuatmu sebal karena mengganti channel, kamu mau?
Kalau sekarang aku menelponmu mengingatkan makan siang, kamu mau?
Kalau sekarang aku meraung lalu memukulmu dengan marah, kamu mau?
Kalau sekarang aku menertawakan kelakuan konyolmu, kamu mau?
Kalau sekarang aku memelukmu dari belakang, kamu mau?
Kalau sekarang aku melompat girang karena hamil, kamu mau?
Kalau sekarang aku membacakan dongeng pada anak-anakmu, kamu mau?

Kalau sekarang aku menyuruhmu menunggu dan diam dalam sabar, kamu mau?

Kenapa Harus Kamu

"Dari sekian banyak wanita, kenapa aku?"
Dari sekian banyak pertanyaan, kenapa harus itu yang kauajukan? 
Pikirkan lagi, calon istriku. Memangnya siapa aku. Pemuda berkaus oblong dengan jeans bolong yang kerjanya lalu lalang di depan kelasmu saat kita masih satu jurusan. Senior yang kerjanya mengamatimu dengan malu-malu dari balik kepulan asap rokok di selipan bibir yang menghitam. Kamu saat itu, tak lebih dari sekadar mimpi terlampau muluk buatku. Memacari terlebih memperistri? Mana berani aku yang pesimis ini membayangkannya. Tiap kali kamu mengangguk lalu membalas semua sapaan basa-basi itu, dalam hati aku yang jarang sekali menyapa Tuhan, selalu berdoa supaya pendampingmu kelak adalah pria yang tanpa ragu menegakkan dagumu yang lebih banyak menunduk ketimbang menatap lurus ke depan. Saat itu kupikir, kalau saja diberi kesempatan untuk menegakkan dagu mungil itu, aku berjanji akan berhenti merokok. Toh, ketergantunganku telah berubah arah.
Kenapa harus kamu. Seperti lirik yang menemukan nada tepat, seperti itulah aku menemukanmu sekejap kilat. Buncahan yang tiba-tiba menyembur ke seluruh wajah lalu debar mengganggu yang candu. Aku tahu kamu nada dan melodi yang tepat, aku tahu kamu akhir dari semua doa yang tertambat.
Jadi, masihkah kamu bertanya kenapa harus kamu?
Inspirasi dari Stereo Hearts - Gym Class Heroes feat Adam Levine
Untuk proyek #30HariLagukuBercerita @PosCinta (hari keempat)

Kenapa Harus Kamu

"Dari sekian banyak wanita, kenapa aku?"
Dari sekian banyak pertanyaan, kenapa harus itu yang kauajukan? 
Pikirkan lagi, calon istriku. Memangnya siapa aku. Pemuda berkaus oblong dengan jeans bolong yang kerjanya lalu lalang di depan kelasmu saat kita masih satu jurusan. Senior yang kerjanya mengamatimu dengan malu-malu dari balik kepulan asap rokok di selipan bibir yang menghitam. Kamu saat itu, tak lebih dari sekadar mimpi terlampau muluk buatku. Memacari terlebih memperistri? Mana berani aku yang pesimis ini membayangkannya. Tiap kali kamu mengangguk lalu membalas semua sapaan basa-basi itu, dalam hati aku yang jarang sekali menyapa Tuhan, selalu berdoa supaya pendampingmu kelak adalah pria yang tanpa ragu menegakkan dagumu yang lebih banyak menunduk ketimbang menatap lurus ke depan. Saat itu kupikir, kalau saja diberi kesempatan untuk menegakkan dagu mungil itu, aku berjanji akan berhenti merokok. Toh, ketergantunganku telah berubah arah.
Kenapa harus kamu. Seperti lirik yang menemukan nada tepat, seperti itulah aku menemukanmu sekejap kilat. Buncahan yang tiba-tiba menyembur ke seluruh wajah lalu debar mengganggu yang candu. Aku tahu kamu nada dan melodi yang tepat, aku tahu kamu akhir dari semua doa yang tertambat.
Jadi, masihkah kamu bertanya kenapa harus kamu?
Inspirasi dari Stereo Hearts - Gym Class Heroes feat Adam Levine
Untuk proyek #30HariLagukuBercerita @PosCinta (hari keempat)

Awal Lini, Separuh Pagi


"Persetan dengan dunia. Bagiku kau semesta."
Kalau saja manusia dicipta untuk mampu melongo ke dalam pikiran orang lain. Kalau saja aku punya daya untuk membaca baris perbaris susunan cerita di benakmu. Kalau saja aku bisa melihat apa yang sudah dan akan kaulalui dalam pencapaianmu atas masa depan kita yang masih abu-abu. Apa aku akan menemukan potongan gelisahmu terhadapku? Apa aku akan menemukan rekahan senyummu atas namaku? Apa aku akan mendapati gambaran waktu beberapa tahun lagi bersamamu? Siapa yang tahu. Mungkin saja kita memang tidak pernah tertulis di dimensi waktu manapun, termasuk masa lalu. Atau bahkan di kehidupan berikutnya, di tempat baru setelah akhir dunia. Hanya ada aku tanpa kau atau ada kau tapi tanpa hadirku. Tidak pernah ada kita. 
"Langit-langit kamar atau bayanganku. Mana yang lebih dulu kau lihat di separuh pagimu?"
Kalau benar tidur adalah peralihan dari dunia fana ke dunia nyata, maka aku ingin berada di antara keduanya. Menyusup ke dalam mimpimu, pelan-pelan mengisinya bak hantu. Aku ingin memenuhi bunga tidurmu dengan sungguhan bunga. Hanya akan ada adegan sempurna, tanpa kejar-kejaran dengan masalah dan ditenggelamkan air mata. Hanya akan ada tawa membumbung ke angkasa, senyummu yang sebesar dunia, dan aku yang menatap penuh bahagia. Dan saat kau akhirnya bangun dan menghadapi hari lagi, kuharap yang kau tangkap di mata dan hati masihlah aku. Seperti di mimpimu. Tak kau lihat lagi langit-langit kamar yang putih. Aku akan menyambutmu di awal lini, di separuh pagi.

"Kalau cinta berwarna merah jambu, mungkin milikku berpendar ungu."

Kalau merah jambu memendarkan cahaya lembut yang hangat, ungu-ku akan menusuk matamu dan membuatnya sakit. Karena merah jambu-ku telah terlampau pekat, menyublim jadi ungu tanpa bisa kutahan lajunya. Untuk itulah kau harus memejam agar bisa melihat pendarnya. Bercampur gulita dalam matamu, ungu-ku akan meredup jadi merah jambu. Tak akan kau dapati merah jambu-ku dengan mata membelalak. Kau harus jadi kau sendiri, seorang diri agar bisa menemukanku. Kalau aku bisa ditemukan oleh orang lain semudah saat kau membuka mata, maka lebih baik aku tidak pernah tertulis untukmu. Pejamkan matamu dan temukan ungu-ku membaur dalam dirimu dan jadi merah jambu.
"Jadi, sudahkah kamu mengingatku hari ini?"
Kalau-kalau belum, kuingatkan kamu untuk mengingatku sekarang.

Awal Lini, Separuh Pagi


"Persetan dengan dunia. Bagiku kau semesta."
Kalau saja manusia dicipta untuk mampu melongo ke dalam pikiran orang lain. Kalau saja aku punya daya untuk membaca baris perbaris susunan cerita di benakmu. Kalau saja aku bisa melihat apa yang sudah dan akan kaulalui dalam pencapaianmu atas masa depan kita yang masih abu-abu. Apa aku akan menemukan potongan gelisahmu terhadapku? Apa aku akan menemukan rekahan senyummu atas namaku? Apa aku akan mendapati gambaran waktu beberapa tahun lagi bersamamu? Siapa yang tahu. Mungkin saja kita memang tidak pernah tertulis di dimensi waktu manapun, termasuk masa lalu. Atau bahkan di kehidupan berikutnya, di tempat baru setelah akhir dunia. Hanya ada aku tanpa kau atau ada kau tapi tanpa hadirku. Tidak pernah ada kita. 
"Langit-langit kamar atau bayanganku. Mana yang lebih dulu kau lihat di separuh pagimu?"
Kalau benar tidur adalah peralihan dari dunia fana ke dunia nyata, maka aku ingin berada di antara keduanya. Menyusup ke dalam mimpimu, pelan-pelan mengisinya bak hantu. Aku ingin memenuhi bunga tidurmu dengan sungguhan bunga. Hanya akan ada adegan sempurna, tanpa kejar-kejaran dengan masalah dan ditenggelamkan air mata. Hanya akan ada tawa membumbung ke angkasa, senyummu yang sebesar dunia, dan aku yang menatap penuh bahagia. Dan saat kau akhirnya bangun dan menghadapi hari lagi, kuharap yang kau tangkap di mata dan hati masihlah aku. Seperti di mimpimu. Tak kau lihat lagi langit-langit kamar yang putih. Aku akan menyambutmu di awal lini, di separuh pagi.

"Kalau cinta berwarna merah jambu, mungkin milikku berpendar ungu."

Kalau merah jambu memendarkan cahaya lembut yang hangat, ungu-ku akan menusuk matamu dan membuatnya sakit. Karena merah jambu-ku telah terlampau pekat, menyublim jadi ungu tanpa bisa kutahan lajunya. Untuk itulah kau harus memejam agar bisa melihat pendarnya. Bercampur gulita dalam matamu, ungu-ku akan meredup jadi merah jambu. Tak akan kau dapati merah jambu-ku dengan mata membelalak. Kau harus jadi kau sendiri, seorang diri agar bisa menemukanku. Kalau aku bisa ditemukan oleh orang lain semudah saat kau membuka mata, maka lebih baik aku tidak pernah tertulis untukmu. Pejamkan matamu dan temukan ungu-ku membaur dalam dirimu dan jadi merah jambu.
"Jadi, sudahkah kamu mengingatku hari ini?"
Kalau-kalau belum, kuingatkan kamu untuk mengingatku sekarang.

9.4 {}






































Thank You ....








9.4 {}






































Thank You ....








16 :"


 



16 :"


 



with my twin {}




















with my twin {}