Rabu, 29 Februari 2012

Seperti berdiri di atas karang
keras, dingin, dan menjarah nyali
batu hitam besar yang licin
sekali tergelicir, aku dan kamu akan tercebur
tergulung ombak, terseret arus

Aku dan kamu menjalin jemari
erat, sangat erat, hingga seakan jemari itu melekat

Mati-matian aku dan kamu bertahan
aku tak peduli sakit, kamu tak peduli mati

Lagipula,
siapa yang punya daya atas jatuh cinta?
Seperti berdiri di atas karang
keras, dingin, dan menjarah nyali
batu hitam besar yang licin
sekali tergelicir, aku dan kamu akan tercebur
tergulung ombak, terseret arus

Aku dan kamu menjalin jemari
erat, sangat erat, hingga seakan jemari itu melekat

Mati-matian aku dan kamu bertahan
aku tak peduli sakit, kamu tak peduli mati

Lagipula,
siapa yang punya daya atas jatuh cinta?

TANYA JAWAB


Sebenarnya, kamu meletakkanku dimana?
Aku meletakkanmu di bagian terbesar dariku. Seiring detak jantung yang mendentum ritme, bersamaan dengan itulah kamu mengalir deras ke segala penjuru arah. Merasuk di tiap sel terkecil, mengaliri tiap organ, membanjiri otak. Sekarang aku tahu kenapa hati menjadi surganya pembuluh darah. Karena kamu, memenuhinya dengan rakus. Seperti penjarah.
Apa arti aku bagi kamu?
Kenapa kamu masih bertanya tentang arti. Tidakkah pengakuan bahwa kamu mengaliri tiap jengkal ragaku cukup membeberkan semesta arti? Ah, kamu pasti mengerti.
Kalau aku mati, apa yang akan kamu lakukan?
Sayangnya, aku tidak akan ikut mati. Hatiku mungkin mati, seluruh organ berhenti berfungsi. Tapi jika itu benar-benar terjadi, aku akan berusaha bertahan hidup dengan bergantung di sehelai rambutku. Jangan lupa, darah tak mengalir padanya hingga jika kamu mati, rambut rapuh sekalipun akan menopang hidupku. Aku akan hidup untukmu. Untuk jiwamu.
Apa kamu cinta aku?
Itu pertanyaan sulit. Karena jika aku menjelaskan jawabannya, hatimu akan remuk oleh besarnya. Simpan untukmu sendiri jawabanku, dan aku juga akan menyimpan kamu hati-hati. Di hati.

TANYA JAWAB


Sebenarnya, kamu meletakkanku dimana?
Aku meletakkanmu di bagian terbesar dariku. Seiring detak jantung yang mendentum ritme, bersamaan dengan itulah kamu mengalir deras ke segala penjuru arah. Merasuk di tiap sel terkecil, mengaliri tiap organ, membanjiri otak. Sekarang aku tahu kenapa hati menjadi surganya pembuluh darah. Karena kamu, memenuhinya dengan rakus. Seperti penjarah.
Apa arti aku bagi kamu?
Kenapa kamu masih bertanya tentang arti. Tidakkah pengakuan bahwa kamu mengaliri tiap jengkal ragaku cukup membeberkan semesta arti? Ah, kamu pasti mengerti.
Kalau aku mati, apa yang akan kamu lakukan?
Sayangnya, aku tidak akan ikut mati. Hatiku mungkin mati, seluruh organ berhenti berfungsi. Tapi jika itu benar-benar terjadi, aku akan berusaha bertahan hidup dengan bergantung di sehelai rambutku. Jangan lupa, darah tak mengalir padanya hingga jika kamu mati, rambut rapuh sekalipun akan menopang hidupku. Aku akan hidup untukmu. Untuk jiwamu.
Apa kamu cinta aku?
Itu pertanyaan sulit. Karena jika aku menjelaskan jawabannya, hatimu akan remuk oleh besarnya. Simpan untukmu sendiri jawabanku, dan aku juga akan menyimpan kamu hati-hati. Di hati.
Benar, aku memang bodoh
sebut aku sesukamu, anggap saja aku begitu
maki aku semaumu, anggap saja aku seperti itu
seret aku seenakmu, anggap saja aku menurut

Di tiap jeda hening yang panjang
aku menengadah dan menerbangkan segala tanya
aku meringkuk dan menggigil kedinginan
berkeras atas apa yang kabur mengaburkan

Tetes air yang jatuh menghantam Bumi
entah kenapa hobi sekali kupelototi
dalam pecahan air itu, aku seperti menemukan diri
yang jatuh berantakan tapi tak kunjung mati

Kau tahu, aku bahkan menemukan Tuhan
saat air-air itu menetes dan jadi serpihan
rasanya aku bukan siapa-siapa selain aku sendiri
serasa bukan milik siapa-siapa selain aku sendiri

Siapa yang tahu
justru dengan rintikan basah itu aku melihat Tuhan
tanpa perlu terus mempertanyakan terlebih menduakan
Benar, aku memang bodoh
sebut aku sesukamu, anggap saja aku begitu
maki aku semaumu, anggap saja aku seperti itu
seret aku seenakmu, anggap saja aku menurut

Di tiap jeda hening yang panjang
aku menengadah dan menerbangkan segala tanya
aku meringkuk dan menggigil kedinginan
berkeras atas apa yang kabur mengaburkan

Tetes air yang jatuh menghantam Bumi
entah kenapa hobi sekali kupelototi
dalam pecahan air itu, aku seperti menemukan diri
yang jatuh berantakan tapi tak kunjung mati

Kau tahu, aku bahkan menemukan Tuhan
saat air-air itu menetes dan jadi serpihan
rasanya aku bukan siapa-siapa selain aku sendiri
serasa bukan milik siapa-siapa selain aku sendiri

Siapa yang tahu
justru dengan rintikan basah itu aku melihat Tuhan
tanpa perlu terus mempertanyakan terlebih menduakan