Selasa, 24 September 2013

Dan... waktunya berterima kasih pada Tuhan atas segala hal yang masih bisa digenggam, dirasakan, dinikmati, diresapi, dan dikenang. Terima kasih atas adanya perasaan, pikiran, dan segala pergolakan. Atas hati, batin, benak, dan logika. Atas rasa dan asa. Atas musibah, cobaan, dan pelajaran. 
Atas sesuatu dan seseorang. Atas masa lalu dan masa depan.

Atas nafas, darah, dan nyawa.

Terima kasih, Tuhan.

aku nggak akan pergi

Kamu melihatku dari pantulan kaca. Aku yang sedang merapikan semua bajuku dan sibuk mengeluarkan semua barang bermerek darimu. Kamu hanya menggosok gigi dengan santai. Kamu bahkan sempat mencukur jambang yang belum panjang, padahal aku sudah sengaja memperlambat gerakan beres-beresku. Aku harap kamu mengerti aku. Aku harap kamu menghentikan aku. Tapi kamu, hanya meraih handuk dan menghilang di kamar mandi.
Kamu memang paling jago mempermainkan perasaanku.
Hari ini aku pergi. Menetap di luar negeri selama tiga tahun lamanya. Aku ingin pergi, tapi aku juga ingin kamu menahan dan mengemis aku. Memintaku untuk tetap di sini. Bersamamu. Tapi kamu, sama sekali nggak peduli.
Kami memang paling anti meluruhkan ego untuk memahamiku.
Aku beranjak. Air mata mulai merangkak naik. Aku mulai kepayahan menahan luruhnya saat kudengar kamu mendendangkan lagu di bilik kecil itu. Kamu hebat ya, Sayang. Kepala dan hatimu itu sudah lebih keras dari batu.
Di depan pintu keluar, selembar catatan menahan langkahku.
Aku terlalu cengeng untuk melepasmu. Aku akan menunggumu. Tiga tahun, kan? :')
Tanganku gemetar di gagang pintu. Aku mengangkat koper dengan mantap, melangkah dengan senyum dan hangatnya banjir di pipi. Aku terus berjalan. Dan berhenti di perhentianku.
Kamu keluar dari kamar mandi. Terdiam menatapku.

Aku batal pergi. Aku nggak akan pergi.
Sekarang, aku kangen kamu.
Aku lihat anak perempuan kamu yang cantik itu. Mana bisa aku membuatnya kehilangan kamu. Seorang ayah harus terus ada di sisi anaknya. Kalau aku mendekapmu, putri kecil itu meratapimu. Sayang ya.
Dia anak kamu. Bukan anak aku. Bukan anak kita.
Satu dua orang, kamu dan aku
Aku, kemudian kamu
Kita berdua beriringan, berpegangan
Seperti tak ada beban, bertukar senyuman
Tanpa alas kaki, aku dan kamu memijak Bumi
Tanpa atap, aku dan kamu bertemu Langit
Mereka teman kita, Sayang
Aku dan kamu merdeka, cinta kita juga
Aku ingin kita berdua
Merdeka selamanya
Jangan takut, Sayang
Aku, kamu, kita berdua, satu dua orang bertemu muka
Kita akan bertukar jiwa
Selamanya

Kembali pada Cinta

Kepada Kamu,
Sebelum memulai surat singkat ini, kalau bisa, aku ingin terlebih dulu menyeka titik keringat kecil di keningmu kemudian bertanya, lelahkah kamu terus-menerus kujejali dengan kata-kata macam ini. Dimanapun, aku menulis sesuatu yang terucap dengan label "Kamu" semauku. Kamu, meski masih juga belum jelas, masih jadi subjek favorit untuk memulai cerita. Tetap jadi hal terbaik untuk memulai hari di permulaan pagi. 
Hidup ini singkat, Sayang. Banyak "tahu-tahu" di dalamnya. Tahu-tahu kita bertumbuh, tahu-tahu kuliah, tahu-tahu bekerja, tahu-tahu menikah lalu punya anak. Tahu-tahu usia bertambah dan usia sampai pada penghabisaannya. Di sela waktu yang sedang berjalan ini, pernahkah kamu memikirkan aku? Mulai dari yang sepele seperti mereka-reka wajahku, hingga bertanya-tanya apakah aku bisa jadi ibu yang baik untuk anak-anakmu. Aku banyak memikirkanmu, bahkan saat menulis surat ini. 
Aku ingin menghabiskan bertahun-tahun ke depan bersama kamu.
Semoga tidak terlalu muluk. Permintaan sederhana dengan harapan yang besarnya tak hingga. Aku tidak kesepian, tapi tak juga merasa lengkap. Memangnya, wanita mana yang tidak ingin ada bahu siaga untuk meredam suara tangisnya. Memangnya, wanita mana yang tidak ingin masuk dalam peluk hangat saat hidup terasa begitu sulit ditapaki. Memangnya, wanita mana yang tidak ingin menatap wajah yang dicintainya dalam keadaan tidur dengan perasaan penuh syukur.
Aku ingin. Selalu ingin. Menghabiskan itu semua bersamamu.
Cinta kadang begitu mencekam, Sayang. Bila tak hati-hati, kau bisa remuk redam. Tapi, bukan aku namanya bila tak optimis, terlebih ini soal dengan siapa kelak akan menghabiskan hidup. Aku ingin kamu yang mengerti bahasa mata meski tanpa berkata-kata. Aku ingin kamu selalu bisa membaca semua bahkan tanpa lebih dulu bertanya. Aku ingin kamu pendebat hati hebat, bukan pendebat mulut yang bejat.
Aku yakin. Kamu ada di ujung jalan sana, berdiri dengan senyum selebar telinga.
Tolong hapus semua awan hitam di kepalaku, Sayang. Tolong bebaskan aku dari semua kekeraskepalaan yang menjerat terlalu erat. Tolong ingatkan aku bahwa hidup adalah seindah-indahnya waktu bersama seseorang yang kusayang. Tolong cepatlah datang, lalu jangan pernah pergi lagi.
Tunjukkan lagi padaku, cara kembali pada cinta.
"Dan jika kubuka hati ini lagi, kuharap kau ada di akhir cerita untukku."


Inspirasi: Way Back Into Love (Ost. Music Lyrics) - Hugh Grant & Drew Barrymore
Untuk proyek #30HariLagukuBercerita @PosCinta (hari pertama)
Aku maju
Terseret-seret
Berdarah-darah
Hanya untuk mengalahkanmu
Hanya untuk memenangkanmu
Dengarkan itu, Waktu.
Harusnya ini semua mudah dimengerti. Untuk apa punya otak paling sempurna seranah Bumi kalau memikirkan diri sendiri saja ruwetnya setengah mati. Harusnya semua masalah yang memberontak di hati patuh pada otak dan mendengarkan semua logika. Otak kan si pemimpin, letaknya di kepala, dan mengendalikan semua hal, tak terkecuali. Jangankan hati, gerak refleks yang cepatnya tak terhitung itu juga buah perintah otak kedua, yaitu tulang belakang. Bayangkan betapa cepatnya kita menarik tangan saat tersundut api. Betapa cepatnya gerakan menghindar saat terancam. Tapi, kenapa tidak terjadi dengan cinta dan hati?

Ada selanya tersakiti, disakiti, menyakiti, dan kalau cinta hanya berputar seperti itu dengan keji, harusnya otak juga memerintahkan tubuh untuk berhenti. Memerintahkan hati untuk melarikan diri. Tapi hati selalu punya pikiran sendiri. Hati. Halus dan peka, seringnya jadi begitu rapuh dan tolol, meski kadang bisa jadi sekeras harga diri. Hati, yang seperti selalu rela menerima, memberi, dan memaklumi. Hati, yang seperti selalu bisa selalu luruh hanya dengan satu pesan manis.

Kepadamu Hati, kuharap kau selalu hati-hati.


Entah kenapa tiba-tiba pingin membahas galau. Sebenarnya semua orang pasti pernah galau, hanya saja pelampiasannya berbeda. Yang aku nggak habis pikir, kenapa ada orang-orang galau-nya muncrat-muncrat sampai rasanya seisi dunia harus tahu. Yah, itu hak masing-masing. Mau galau sambil kayang atau apapun. Tapi, bukankah akan lebih baik kalau nggak semua orang bisa tahu apa yang kita rasakan. Rasanya nggak enak lho di-judge jelek cuma karena ekspresi cinta-galau yang berlebihan.

Lagi-lagi, semua pilihan, kan.
Entah kenapa tiba-tiba pingin membahas galau. Sebenarnya semua orang pasti pernah galau, hanya saja pelampiasannya berbeda. Yang aku nggak habis pikir, kenapa ada orang-orang galau-nya muncrat-muncrat sampai rasanya seisi dunia harus tahu. Yah, itu hak masing-masing. Mau galau sambil kayang atau apapun. Tapi, bukankah akan lebih baik kalau nggak semua orang bisa tahu apa yang kita rasakan. Rasanya nggak enak lho di-judge jelek cuma karena ekspresi cinta-galau yang berlebihan.

Lagi-lagi, semua pilihan, kan.