Sekarang, kita sedang melangkah. Terlihatkah jalan lurus di depan itu,
Sayang? Tidakkah sisi-sisi perjalanan kita begitu indah? Tidakkah tanah
kita berpijak penuh bunyi gemerisik yang asyik? Bayangkan. Kamu dan aku,
hanya berdua, tanpa iring-iring masalah dunia. Bergandengan di bawah
payung mapel merah keemasan yang megah, dijatuhi sinar matahari yang
ruah. Hanya tawamu dan suara sepatu yang menginjak daun mapel kering
satu-satu. Aku tidak akan tertawa, Sayang. Aku hanya akan memandang,
mengingat tiap detil, kemudian membekukannya dalam ingatan.
Saat ini kita sedang menguatkan langkah. Ancang-ancangmu belum goyah,
tapi jelas mulai payah. Aku pun begitu. Sulit berdiri membangun fondasi,
sulit melangkah tanpa pernah benar-benar tidak menoleh. Hanya masalah
kecil, Sayang. Kuyakinkan kau itu hanya masalah kecil. Kelak akan ada
yang lebih besar, menghantam dan membuat tulang-tulangmu patah, sendiku
luluh lantak. Tapi, sudah kuterbangkan janji setinggi surga pada Tuhan,
untuk menurunkan yang lebih baik seandainya kakiku tak lagi mampu
mengikuti langkahmu. Dan aku mungkin masih akan memandangimu.
Omong-omong, seikat mawar itu belum juga datang.