Minggu, 01 Januari 2012

Harusnya ini semua mudah dimengerti. Untuk apa punya otak paling sempurna seranah Bumi kalau memikirkan diri sendiri saja ruwetnya setengah mati. Harusnya semua masalah yang memberontak di hati patuh pada otak dan mendengarkan semua logika. Otak kan si pemimpin, letaknya di kepala, dan mengendalikan semua hal, tak terkecuali. Jangankan hati, gerak refleks yang cepatnya tak terhitung itu juga buah perintah otak kedua, yaitu tulang belakang. Bayangkan betapa cepatnya kita menarik tangan saat tersundut api. Betapa cepatnya gerakan menghindar saat terancam. Tapi, kenapa tidak terjadi dengan cinta dan hati?

Ada selanya tersakiti, disakiti, menyakiti, dan kalau cinta hanya berputar seperti itu dengan keji, harusnya otak juga memerintahkan tubuh untuk berhenti. Memerintahkan hati untuk melarikan diri. Tapi hati selalu punya pikiran sendiri. Hati. Halus dan peka, seringnya jadi begitu rapuh dan tolol, meski kadang bisa jadi sekeras harga diri. Hati, yang seperti selalu rela menerima, memberi, dan memaklumi. Hati, yang seperti selalu bisa selalu luruh hanya dengan satu pesan manis.

Kepadamu Hati, kuharap kau selalu hati-hati.
Harusnya ini semua mudah dimengerti. Untuk apa punya otak paling sempurna seranah Bumi kalau memikirkan diri sendiri saja ruwetnya setengah mati. Harusnya semua masalah yang memberontak di hati patuh pada otak dan mendengarkan semua logika. Otak kan si pemimpin, letaknya di kepala, dan mengendalikan semua hal, tak terkecuali. Jangankan hati, gerak refleks yang cepatnya tak terhitung itu juga buah perintah otak kedua, yaitu tulang belakang. Bayangkan betapa cepatnya kita menarik tangan saat tersundut api. Betapa cepatnya gerakan menghindar saat terancam. Tapi, kenapa tidak terjadi dengan cinta dan hati?

Ada selanya tersakiti, disakiti, menyakiti, dan kalau cinta hanya berputar seperti itu dengan keji, harusnya otak juga memerintahkan tubuh untuk berhenti. Memerintahkan hati untuk melarikan diri. Tapi hati selalu punya pikiran sendiri. Hati. Halus dan peka, seringnya jadi begitu rapuh dan tolol, meski kadang bisa jadi sekeras harga diri. Hati, yang seperti selalu rela menerima, memberi, dan memaklumi. Hati, yang seperti selalu bisa selalu luruh hanya dengan satu pesan manis.

Kepadamu Hati, kuharap kau selalu hati-hati.
Entah kenapa tiba-tiba pingin membahas galau. Sebenarnya semua orang pasti pernah galau, hanya saja pelampiasannya berbeda. Yang aku nggak habis pikir, kenapa ada orang-orang galau-nya muncrat-muncrat sampai rasanya seisi dunia harus tahu. Yah, itu hak masing-masing. Mau galau sambil kayang atau apapun. Tapi, bukankah akan lebih baik kalau nggak semua orang bisa tahu apa yang kita rasakan. Rasanya nggak enak lho di-judge jelek cuma karena ekspresi cinta-galau yang berlebihan.

Lagi-lagi, semua pilihan, kan.
Entah kenapa tiba-tiba pingin membahas galau. Sebenarnya semua orang pasti pernah galau, hanya saja pelampiasannya berbeda. Yang aku nggak habis pikir, kenapa ada orang-orang galau-nya muncrat-muncrat sampai rasanya seisi dunia harus tahu. Yah, itu hak masing-masing. Mau galau sambil kayang atau apapun. Tapi, bukankah akan lebih baik kalau nggak semua orang bisa tahu apa yang kita rasakan. Rasanya nggak enak lho di-judge jelek cuma karena ekspresi cinta-galau yang berlebihan.

Lagi-lagi, semua pilihan, kan.

Aku, November, dan Tuhan 

“Seperti titik air hujan yang jatuh menghantam Bumi,
seperti itulah aku yang tak mati meski jatuh berkali-kali.”


27 November

“Kau tahu seperti apa rasanya dikhianati oleh orang yang kaupikir paling bisa kaupercayai? Kau tidak mungkin tahu. Kau bahkan tak punya hati.”

Aku tergugu dalam hening, sendiri. Menatap hampa pada quote di blog pribadi November. Quote yang seakan tak memiliki arti, tapi aku tahu itu untukku. Aku bisa tahu mana saja kalimat yang ditujukkan padaku. Tak perlu dia menulis sesuatu yang berbau namaku. Aku bisa melihat air mata darah di ujung kalimat-kalimat itu. Kutulis kalimat balasan di blog milikku, sama sekali tak berharap perhatian terlebih balasan darinya.

“Yang hidup dan yang bernyawa, punya rasa untuk dipilih dan dijaga.”

Kuputar Stereo Hearts dengan keras, membangunkan ingatan tentang November yang kini mungkin sedang meronta sesak. Dia suka Adam Levine. Begitu lagu mengalun, bukan suara Adam melainkan suara November yang terdengar. Mengayun syahdu sekaligus mengerikan.


28 November

“Lebih baik kita tak pernah bertemu jika semua pertemuan berbuah sakit dan berujung jurang. Kau yang berjalan menukik, tapi aku yang terperosok.”

Scarlet tertawa manja di seberang telepon, sementara aku terduduk tanpa nyawa di depan komputer dengan tanda tanya sebesar dunia. Apa yang selama ini kulakukan. Apa yang sebenarnya sedang kulakukan. Apa yang aku dan Scarlet telah lakukan.

Aku dan November pernah berdua menjalin sesuatu yang tak terlihat. Yang jika jalinan itu adalah wol, gulungannya akan sanggup menerbangkan layang-layang ke langit Zeus.

November dan Scarlet seperti sepasang gulali merah muda yang manis. Hanya saja November lebih halus sementara Scarlet lebih pekat. Mereka seperti halaman kertas, bertolak belakang tapi satu dan tak terpisahkan.

Aku jatuh cinta pada November.

Tapi tak pernah terpikir akan jatuh juga pada Scarlet.

Scarlet membuat lelucon tanpa hati tentang nama November. Di sela tawa-dan entah kenapa aku masih tega tertawa, kuketikkan lirik Rindu di blog. Kepala yang harusnya penuh terasa kosong dan hancur.

“Dalam hati, kupanggil namamu. Semoga saja kau dengar dan merasakan.”

Scarlet menertawakan November yang seperti tak bisa bangkit lagi. Terkutuknya, aku ikut tertawa bersamanya. Menertawakan November atau diriku sendiri, aku sudah tak tahu lagi.


29 November

“Aku pernah meletakkan namamu di bagian terbesar hati dan pikiranku. Aku gila tapi aku bahkan tak peduli. Tidak bisakah kau, yang pernah mendekap sekaligus menginjakku, sedikit saja merenung? Aku tidak tahu kenapa Tuhan mempertemukan kita.”

Kalau kuasa Tuhan ada di tanganku, aku yang keparat ini hanya ingin meminta Bumi terbelah dan menelanku. Tak masalah jika kelak aku jadi pendosa paling hebat, aku hanya tak ingin berada disini. Pertanyaan itu, yang nyalanya menghanguskan nyaliku, membuat semua rasa bersalah luruh memenuhi darah.

Aku, yang tak bisa menampik Scarlet, yang terlalu serakah untuk melepaskan November, mestinya sudah pudar menjadi debu.
Scarlet bilang aku tak perlu merasa bersalah. Aku bukan pengkhianat. Kami berdua tak menyakiti November. Semua ini hanya pilihan dan November yang harus terkorban.

Awalnya itu menyembuhkan, tapi kini itu tak lebih dari sekedar pembenaran.

“Maafkan aku, Novy.”

Kalimat itu jelas-jelas terpampang di blog. Dengan subjek yang terang-terangan. Scarlet akan marah besar sementara November tak peduli, aku sudah tak ambil pusing. Permintaan maafku sama sekali bukan untuk merebut hati November kembali.

Sekalinya  jadi pecundang, aku tahu selamanya tak akan pernah menang.


30 November

“Dari kawan menjadi lawan. Kita memang lebih baik tak pernah bersama, kan?”

Wanita ini, yang tiga tahun lalu kudekati dan kujejali dengan segunung perhatian dan sayang, sedang menantangku untuk berdebat prinsip dan harga diri dengannya. Aku sudah menginjaknya hingga yang tersisa darinya tinggal logika yang meronta.

“Tidak ada yang salah dengan mencintai orang yang salah.”

Sepuluh menit kemudian kulihat November mengetikkan kalimat lain.

“Bicaramu mudah. Bukan kau yang tergeletak kalah.”

Ponselku berdering dengan nama Scarlet kedap-kedip di layar besarnya. Seakan tak mau ketinggalan urusanku dan November yang sedang dimulai.

“Aku sudah kalah dan kau yang paling tahu itu.”

Sejenak kupikir November akan membalas dengan makian yang tertumpuk dan mengerak di hatinya. Sebaris kalimat darinya membuat sendiku ngilu dan hilang rasa.

“Untuk itulah aku terus berdoa untuk bahagiamu. Sekarang, lepaskan aku.”

Aku merangkai kalimat dengan sedikit gemetar, pelupukku penuh lelehan perasaan keji yang hampir tumpah. Kubayangkan November meringkuk dalam perih, bahu kecilnya bergetar menahan gelombang besar yang aku dan Scarlet ciptakan.

“Selamat tinggal, November.”

“Ini cerita antara aku, kau, dan Tuhan.
Kalau kau berhenti dan mengabaikan, Tuhan ada untuk menyelesaikan.” 


#goodbyeNovember

Aku, November, dan Tuhan 

“Seperti titik air hujan yang jatuh menghantam Bumi,
seperti itulah aku yang tak mati meski jatuh berkali-kali.”


27 November

“Kau tahu seperti apa rasanya dikhianati oleh orang yang kaupikir paling bisa kaupercayai? Kau tidak mungkin tahu. Kau bahkan tak punya hati.”

Aku tergugu dalam hening, sendiri. Menatap hampa pada quote di blog pribadi November. Quote yang seakan tak memiliki arti, tapi aku tahu itu untukku. Aku bisa tahu mana saja kalimat yang ditujukkan padaku. Tak perlu dia menulis sesuatu yang berbau namaku. Aku bisa melihat air mata darah di ujung kalimat-kalimat itu. Kutulis kalimat balasan di blog milikku, sama sekali tak berharap perhatian terlebih balasan darinya.

“Yang hidup dan yang bernyawa, punya rasa untuk dipilih dan dijaga.”

Kuputar Stereo Hearts dengan keras, membangunkan ingatan tentang November yang kini mungkin sedang meronta sesak. Dia suka Adam Levine. Begitu lagu mengalun, bukan suara Adam melainkan suara November yang terdengar. Mengayun syahdu sekaligus mengerikan.


28 November

“Lebih baik kita tak pernah bertemu jika semua pertemuan berbuah sakit dan berujung jurang. Kau yang berjalan menukik, tapi aku yang terperosok.”

Scarlet tertawa manja di seberang telepon, sementara aku terduduk tanpa nyawa di depan komputer dengan tanda tanya sebesar dunia. Apa yang selama ini kulakukan. Apa yang sebenarnya sedang kulakukan. Apa yang aku dan Scarlet telah lakukan.

Aku dan November pernah berdua menjalin sesuatu yang tak terlihat. Yang jika jalinan itu adalah wol, gulungannya akan sanggup menerbangkan layang-layang ke langit Zeus.

November dan Scarlet seperti sepasang gulali merah muda yang manis. Hanya saja November lebih halus sementara Scarlet lebih pekat. Mereka seperti halaman kertas, bertolak belakang tapi satu dan tak terpisahkan.

Aku jatuh cinta pada November.

Tapi tak pernah terpikir akan jatuh juga pada Scarlet.

Scarlet membuat lelucon tanpa hati tentang nama November. Di sela tawa-dan entah kenapa aku masih tega tertawa, kuketikkan lirik Rindu di blog. Kepala yang harusnya penuh terasa kosong dan hancur.

“Dalam hati, kupanggil namamu. Semoga saja kau dengar dan merasakan.”

Scarlet menertawakan November yang seperti tak bisa bangkit lagi. Terkutuknya, aku ikut tertawa bersamanya. Menertawakan November atau diriku sendiri, aku sudah tak tahu lagi.


29 November

“Aku pernah meletakkan namamu di bagian terbesar hati dan pikiranku. Aku gila tapi aku bahkan tak peduli. Tidak bisakah kau, yang pernah mendekap sekaligus menginjakku, sedikit saja merenung? Aku tidak tahu kenapa Tuhan mempertemukan kita.”

Kalau kuasa Tuhan ada di tanganku, aku yang keparat ini hanya ingin meminta Bumi terbelah dan menelanku. Tak masalah jika kelak aku jadi pendosa paling hebat, aku hanya tak ingin berada disini. Pertanyaan itu, yang nyalanya menghanguskan nyaliku, membuat semua rasa bersalah luruh memenuhi darah.

Aku, yang tak bisa menampik Scarlet, yang terlalu serakah untuk melepaskan November, mestinya sudah pudar menjadi debu.
Scarlet bilang aku tak perlu merasa bersalah. Aku bukan pengkhianat. Kami berdua tak menyakiti November. Semua ini hanya pilihan dan November yang harus terkorban.

Awalnya itu menyembuhkan, tapi kini itu tak lebih dari sekedar pembenaran.

“Maafkan aku, Novy.”

Kalimat itu jelas-jelas terpampang di blog. Dengan subjek yang terang-terangan. Scarlet akan marah besar sementara November tak peduli, aku sudah tak ambil pusing. Permintaan maafku sama sekali bukan untuk merebut hati November kembali.

Sekalinya  jadi pecundang, aku tahu selamanya tak akan pernah menang.


30 November

“Dari kawan menjadi lawan. Kita memang lebih baik tak pernah bersama, kan?”

Wanita ini, yang tiga tahun lalu kudekati dan kujejali dengan segunung perhatian dan sayang, sedang menantangku untuk berdebat prinsip dan harga diri dengannya. Aku sudah menginjaknya hingga yang tersisa darinya tinggal logika yang meronta.

“Tidak ada yang salah dengan mencintai orang yang salah.”

Sepuluh menit kemudian kulihat November mengetikkan kalimat lain.

“Bicaramu mudah. Bukan kau yang tergeletak kalah.”

Ponselku berdering dengan nama Scarlet kedap-kedip di layar besarnya. Seakan tak mau ketinggalan urusanku dan November yang sedang dimulai.

“Aku sudah kalah dan kau yang paling tahu itu.”

Sejenak kupikir November akan membalas dengan makian yang tertumpuk dan mengerak di hatinya. Sebaris kalimat darinya membuat sendiku ngilu dan hilang rasa.

“Untuk itulah aku terus berdoa untuk bahagiamu. Sekarang, lepaskan aku.”

Aku merangkai kalimat dengan sedikit gemetar, pelupukku penuh lelehan perasaan keji yang hampir tumpah. Kubayangkan November meringkuk dalam perih, bahu kecilnya bergetar menahan gelombang besar yang aku dan Scarlet ciptakan.

“Selamat tinggal, November.”

“Ini cerita antara aku, kau, dan Tuhan.
Kalau kau berhenti dan mengabaikan, Tuhan ada untuk menyelesaikan.” 


#goodbyeNovember

4 Jam Menuju Tahun Baru

Empat jam lagi, 2011 yang-aku pikir-gemilang akan segera berakhir. Berakhir begitu saja. Jadi bagian slide-slide kenangan dan barisan tahun biasa. Aku, masih sebagai si Optimis, kembali duduk di kursi biru yang sama, semangat yang sama, tapi harapan yang lebih besar dan berbeda, sedang menatap 2012 dengan setengah menyerngit. Meringis demi ketakutan yang tak wajar dan tertawa demi hal-hal baru yang mungkin ada.

Seperti balon-balon merah muda yang melayang di remang langit itu, mungkin seperti itulah setiap tahun aku menerbangkan banyak harapanku. Aku tahu, Tuhan tahu aku bahkan sudah terlalu malas mengucapkan harapan dengan kuat dan bulat. Tahun demi tahun, ada satu harapan besarku yang tak juga jadi nyata dan kini sudah membuatku muak. Aku muak dan murka, dan akhirnya punya harapan baru yang lebih melegakan. Hahaha.

Tahun baru 2012. 
Aku menghabiskannya lagi-lagi dengan buku, kopi, musik, dan Tuhan.

4 Jam Menuju Tahun Baru

Empat jam lagi, 2011 yang-aku pikir-gemilang akan segera berakhir. Berakhir begitu saja. Jadi bagian slide-slide kenangan dan barisan tahun biasa. Aku, masih sebagai si Optimis, kembali duduk di kursi biru yang sama, semangat yang sama, tapi harapan yang lebih besar dan berbeda, sedang menatap 2012 dengan setengah menyerngit. Meringis demi ketakutan yang tak wajar dan tertawa demi hal-hal baru yang mungkin ada.

Seperti balon-balon merah muda yang melayang di remang langit itu, mungkin seperti itulah setiap tahun aku menerbangkan banyak harapanku. Aku tahu, Tuhan tahu aku bahkan sudah terlalu malas mengucapkan harapan dengan kuat dan bulat. Tahun demi tahun, ada satu harapan besarku yang tak juga jadi nyata dan kini sudah membuatku muak. Aku muak dan murka, dan akhirnya punya harapan baru yang lebih melegakan. Hahaha.

Tahun baru 2012. 
Aku menghabiskannya lagi-lagi dengan buku, kopi, musik, dan Tuhan.
HAPPY NEW YEAR 2012 !! (ʃƪ ˘ ˘ ه)

#wish : I wish this new year could be the best for everything including my father, my father's love and I want longlast krisna lifetime together and pass the exam
HAPPY NEW YEAR 2012 !! (ʃƪ ˘ ˘ ه)

#wish : I wish this new year could be the best for everything including my father, my father's love and I want longlast krisna lifetime together and pass the exam