Rabu, 21 Desember 2011

Perfect Time

    Sendiri terjebak dalam ruangan yang berisi buku dan hanya diterangi sinar matahari. Pertama kali melihat gambar ini, aku iri setengah mati pada gadis itu. Dia hanya gambar, hanya buah lukisan seseorang. Tapi aku ingin sekali berada di posisinya, membaca buku di tangannya, dan duduk nyaman di kursinya. Ini mungkin terdengar bodoh, tapi aku suka melihat gambar seseorang yang sedang tersenyum, tertawa, dan melakukan hal menyenangkan lainnya. Mereka nggak punya pilihan selain tertawa. Sedari awal dibuat untuk tetap tertawa sampai warna mereka memudar atau si pelukis merubah ekspresinya. Seperti lukisan gadis itu, tetap akan seperti itu sampai ditelan masa. Dia 'terjebak' dalam keadaan yang nyaman, selamanya.

              Lagi-lagi, aku berharap ada waktu yang tak berjeda. Saat merenung, menangis, dan mengeluh bukan bagian dari sia-sia. Saat tiap detik yang terlewat hanya berisi pikiran yang terbuka. Duduk di ruangan temaram itu, menghabiskan buku itu, sambil sesekali melihat ke luar jendela. Dan saat aku puas, aku hanya tinggal meminta Tuhan mengembalikan waktu. Sesederhana itu. Sefana itu.

Perfect Time

    Sendiri terjebak dalam ruangan yang berisi buku dan hanya diterangi sinar matahari. Pertama kali melihat gambar ini, aku iri setengah mati pada gadis itu. Dia hanya gambar, hanya buah lukisan seseorang. Tapi aku ingin sekali berada di posisinya, membaca buku di tangannya, dan duduk nyaman di kursinya. Ini mungkin terdengar bodoh, tapi aku suka melihat gambar seseorang yang sedang tersenyum, tertawa, dan melakukan hal menyenangkan lainnya. Mereka nggak punya pilihan selain tertawa. Sedari awal dibuat untuk tetap tertawa sampai warna mereka memudar atau si pelukis merubah ekspresinya. Seperti lukisan gadis itu, tetap akan seperti itu sampai ditelan masa. Dia 'terjebak' dalam keadaan yang nyaman, selamanya.

              Lagi-lagi, aku berharap ada waktu yang tak berjeda. Saat merenung, menangis, dan mengeluh bukan bagian dari sia-sia. Saat tiap detik yang terlewat hanya berisi pikiran yang terbuka. Duduk di ruangan temaram itu, menghabiskan buku itu, sambil sesekali melihat ke luar jendela. Dan saat aku puas, aku hanya tinggal meminta Tuhan mengembalikan waktu. Sesederhana itu. Sefana itu.

Satu Lagu = Satu Dunia

Pernah dong ya tiba-tiba kaget, "Astaga lagu ini!" atau "Ya ampun, kenapa harus lagu ini, sih?" atau "Aduh jangan bubar dulu dong mau denger lagu ini!" atau "Aaaa... lagu ini...," atau seringnya cuma "...." terus bercucuran air mata. Hahaha aku nggak pernah langsung banjir air mata, tapi sering mendadak kena serangan jantung kalau dengar beberapa lagu.

Rata-rata bukan lagu yang membuat galau. Biasanya kena serangan jantung kalau lagu yang diputar itu lagu atau penyanyi favorit. Yang paling sering membuat aku jantungan itu -pasti- lagunya Matthew Morrison. Disusul lagu-lagu Jonas Brothers, Marroon 5, dan Hugh Grant. Ada juga beberapa lagu dari band Indonesia tapi itu lebih ke arah galau dan ketidakseimbangan jiwa.

Aku pernah menangis tanpa alasan setelah mendengar lagu Fox Rain versi akustik. Itu lagu Ost. My Girlfriend is Gumiho. Walaupun bukan penggemar Korea aku suka drama itu. Dan lagu Fox Rain itu selalu diputar saat Mi Ho sedih atau menangis. Serius lagu itu efeknya langsung ke kelenjar air mata. Silahkan didengarkan ya!

Sejauh ini, lagu favorit yang menjadi most played di handphone dan mungkin sudah hampir seribu kali diputar adalah L.A. Baby-nya Jonas Brothers. Lagu itu moodbooster. Penyuntik semangat paling cepat dan hebat. Well, ini daftar 20 lagu yang ada di most played:
  1. L.A. Baby - Jonas Brothers
  2. Makes Me Wonder - Marroon 5
  3. Dear Friends - Triplane (Ost. One Piece)
  4. Summer Rain - Matthew Morrison
  5. Because of You - Kelly Clarkson
  6. Misery - Marroon 5
  7. S.O.S - Jonas Brothers
  8. My Name - Matthew Morrison
  9. Cancer - My Chemical Romance
  10. Untitled - (Ost. Detective Conan)
  11. Still Got Tonight - Matthew Morrison
  12. Way Back Into Love - Hugh Grant & Drew Barrymore
  13. You'll Be In My Heart - Phil Collins
  14. Alone - Matthew Morrison & Kristin Chenoweth
  15. Sorry Sorry - Super Junior
  16. Lovebug - Jonas Brothers
  17. Ya Sudahlah - Bondan ft Fade 2 Black
  18. One Day One Dream - Tackey & Tsubasa (Ost. Inuyasha)
  19. Thinking of You - Katy Perry 
  20. Take A Bow - Glee Cast
Kalau Take A Bow saja nggak bisa diingat lagi seberapa sering diputarnya, bayangkan L.A. Baby yang ada di urutan pertama dan belum pernah ada yang mengalahkan.

Sebuah lagu, beberapa lagu, kadang bisa menjelaskan apa-apa yang nggak bisa kita jelaskan. Liriknya membuat kita mendesah sedih karena terlalu mirip dengan kisah hidup, membuat tertawa karena mampu memotivasi. Satu lagu bisa merubah suasana hati secara tiba-tiba. Dan satu lagu kadang bisa menjelaskan semua.

Satu lagu kadang terasa seperti satu dunia.

Satu Lagu = Satu Dunia

Pernah dong ya tiba-tiba kaget, "Astaga lagu ini!" atau "Ya ampun, kenapa harus lagu ini, sih?" atau "Aduh jangan bubar dulu dong mau denger lagu ini!" atau "Aaaa... lagu ini...," atau seringnya cuma "...." terus bercucuran air mata. Hahaha aku nggak pernah langsung banjir air mata, tapi sering mendadak kena serangan jantung kalau dengar beberapa lagu.

Rata-rata bukan lagu yang membuat galau. Biasanya kena serangan jantung kalau lagu yang diputar itu lagu atau penyanyi favorit. Yang paling sering membuat aku jantungan itu -pasti- lagunya Matthew Morrison. Disusul lagu-lagu Jonas Brothers, Marroon 5, dan Hugh Grant. Ada juga beberapa lagu dari band Indonesia tapi itu lebih ke arah galau dan ketidakseimbangan jiwa.

Aku pernah menangis tanpa alasan setelah mendengar lagu Fox Rain versi akustik. Itu lagu Ost. My Girlfriend is Gumiho. Walaupun bukan penggemar Korea aku suka drama itu. Dan lagu Fox Rain itu selalu diputar saat Mi Ho sedih atau menangis. Serius lagu itu efeknya langsung ke kelenjar air mata. Silahkan didengarkan ya!

Sejauh ini, lagu favorit yang menjadi most played di handphone dan mungkin sudah hampir seribu kali diputar adalah L.A. Baby-nya Jonas Brothers. Lagu itu moodbooster. Penyuntik semangat paling cepat dan hebat. Well, ini daftar 20 lagu yang ada di most played:
  1. L.A. Baby - Jonas Brothers
  2. Makes Me Wonder - Marroon 5
  3. Dear Friends - Triplane (Ost. One Piece)
  4. Summer Rain - Matthew Morrison
  5. Because of You - Kelly Clarkson
  6. Misery - Marroon 5
  7. S.O.S - Jonas Brothers
  8. My Name - Matthew Morrison
  9. Cancer - My Chemical Romance
  10. Untitled - (Ost. Detective Conan)
  11. Still Got Tonight - Matthew Morrison
  12. Way Back Into Love - Hugh Grant & Drew Barrymore
  13. You'll Be In My Heart - Phil Collins
  14. Alone - Matthew Morrison & Kristin Chenoweth
  15. Sorry Sorry - Super Junior
  16. Lovebug - Jonas Brothers
  17. Ya Sudahlah - Bondan ft Fade 2 Black
  18. One Day One Dream - Tackey & Tsubasa (Ost. Inuyasha)
  19. Thinking of You - Katy Perry 
  20. Take A Bow - Glee Cast
Kalau Take A Bow saja nggak bisa diingat lagi seberapa sering diputarnya, bayangkan L.A. Baby yang ada di urutan pertama dan belum pernah ada yang mengalahkan.

Sebuah lagu, beberapa lagu, kadang bisa menjelaskan apa-apa yang nggak bisa kita jelaskan. Liriknya membuat kita mendesah sedih karena terlalu mirip dengan kisah hidup, membuat tertawa karena mampu memotivasi. Satu lagu bisa merubah suasana hati secara tiba-tiba. Dan satu lagu kadang bisa menjelaskan semua.

Satu lagu kadang terasa seperti satu dunia.

Celemek Merah Muda

Menjadi manajer sebuah perusahaan swasta terbesar di Jakarta saat baru dua bulan selesai bergulat dengan pendidikan dahsyat di Amerika, mendapat apartemen gratis dari perusahaan yang letaknya sejengkal dari kantor, Porsche hitam idaman yang dulu jadi wallpaper laptop kini jadi pegangan, gaji yang sanggup membuat adikku yang norak tersedak, dan wawancara majalah yang memenuhi jadwal. Inilah hidup.
            Mana ada pria yang lebih hebat dariku sekarang.
            “Tutup mulutmu, sombong!” Carol, adik bungsuku menyerngit.
            “Ini kenyataan,” kilahku.
            “Apa peduliku?” sahutnya. “Nggak semua hal luar biasa bisa kau beli dengan uang.”
            “Aku tahu pepatah itu. Pepatah lama yang akan terasa basi saat kau sedang kelimpahan uang. Bisa mengucapkannya dengan mudah karena kau belum merasakan apa yang bisa uang dan kedudukan lakukan dalam hidupmu.”
            “Oh, aku tahu. Kau berusaha mengumpulkan uang untuk menarik Scarlet kembali, kan? Dia suka uang dan sangat mencintai baunya.”
            Aku sudah menyiapkan jawaban untuk itu. “Aku nggak akan mengejar-ngejarnya lagi. Aku akan mencari wanita hebat yang karirnya menanjak, yang setiap hari berbaju rapi dan wangi dengan rambut digelung cantik, yang turun dari mobil pribadinya sambil menoleh anggun ke segala arah.”
            “Yang kalau di film-film selalu disorot bagian kakinya?”
            “Tepat.”
            “Yang bibirnya seperti bemper mobil?”
            “Itu terdengar mengerikan.”
            “Yang akan menolak punya anak?”
            Kali ini aku tercenung. “Anak?”
            “Wanita yang kau deskripsikan biasanya nggak akan mau mengorbankan karir dan tubuh semampainya hanya untuk mengandung dan melahirkan anakmu yang hidungnya pasti besar itu,” Carol menyerngit.
            Setelah berpikir secara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, otakku yang sudah keracunan Amerika dan modernisasi mendadak, langsung menolak gagasan memiliki anak. “Nggak masalah. Anak? Memangnya siapa yang menginginkan mereka? Bocah rewel yang tiap jam menangis, menganggu waktu-waktu berdua untukku dan istriku, yang belepotan susu dan buang air sembarangan. Alangkah indahnya hidup tanpa mereka!”
            Carol meraih gelas jusnya sambil menatap hampa ke arahku. “Kalau Mom berpikir senorak itu saat menikah, kau, aku, dan Dean nggak akan pernah lahir ke dunia ini. Memangnya kau dulu bukan bayi bau pesing yang hobinya menangis? Memangnya kau langsung jadi tua dan sombong begini?”
            Begitu adikku yang mulutnya setajam pisau keluar pabrik itu menghilang, aku merasa jadi sekerdil jempol kaki. Gendut, bau, dan tergesek ke tanah.

Hari ini terlalu luar biasa untuk diam di rumah. Ini Minggu yang cerah, yang udaranya seakan menarik semua kesombongan untuk keluar dan menyapa dunia dengan dagu terangkat. Dan salah satu cara menikmatinya adalah dengan memarkir mobil di depan kafe favoritku, Ladybug kemudian berjalan kaki bersama tumpukan manusia kebanyakan. Dan semoga, Scarlet yang seksi-montok-tolol itu melihatku memarkir Porsche di depan Ladybug. Lalu aku bertemu dengan si wanita karir cantik idamanku, untuk kemudian berkenalan dan semua kisah cinta modern ala Amerika yang tanpa anak dimulai.
             Tuhan, aku cinta hari ini.
            “Zach, ada yang ingin bicara denganmu,” sahut Frans cepat begitu kuangkat telponnya. Aku yang baru saja selesai memarkir Porsche kebanggaan dan berdiri dengan sengaja selama lima menit di samping si Hitam, hanya diam saat suara seorang wanita memenuhi telinga.
            “Zach, ini aku.”
            Zach, ini aku. Kau itu siapa? Seakan-akan dia wanita penting yang suaranya wajib kuhapal. Oke, aku tahu ini jelas-jelas suara Scarlet. Tapi gayanya yang seakan-akan masih berstatus penting ini membuatku ingin menamparnya dengan gajiku selama sebulan.
            “Aku nggak tahu ini siapa,” jawabku.
            Scarlet tertawa. “Kau masih hobi bercanda!”
            Oh bagus, yang barusan dia kira bercanda.
            “Apa kita bisa bertemu?” tanyanya. “Aku merindukanmu.”
            Itu terang-terangan dan membuat ngeri. “Begitu?”
            “Jangan sedingin itu,” bujuknya.
            “Kau nggak pernah begini saat aku masih mahasiswa biasa,”
            “Tapi, sekarang kau luar biasa, kan? Kau pernah bilang kalau aku adalah wanita terluar biasa yang kau kenal. Jadi, bukankah sekarang kita serasi?”
            Tanpa diduga-duga, semua kalimat yang kurancang untuk membelah kepala mantanku ini hangus tak bersisa. Semua tudingan balik yang kusiapkan untuk memarut muka dan harga dirinya habis tergilas kata-kata itu.
             Serasi.
             Apa barusan dia bilang serasi?
            “Ayo, angkat tanganmu tinggi-tinggi!”
            Aku menoleh kaget pada suara yang tiba-tiba terdengar. Suara itu berasal dari sebuah TK kecil di dekat Ladybug, sebuah TK yang sebelumnya hanya membuatku menggeleng malas mendengar teriakan anak-anak. Sementara Scarlet sibuk mengoceh tentang betapa hebatnya kami kalau kembali menjadi pasangan, aku terpaku pada sosok yang tadi mengeluarkan suara dan menyuruh muridnya mengangkat tangan.
            Darahku seperti terhisap.
            Dia, berdiri di tengah-tengah kumpulan bocah berisik, sedang tertawa selebar telinga pada murid-muridnya. Pipinya belepotan tepung, ada coklat di ujung bibir mungilnya. Rambut acak-acakan yang diikat ekor kuda dengan beberapa anak rambut bandel yang menjuntai ke mata. Tubuh mungil yang melompat-lompat dengan baju kotak-kotak kuning setengah betis, ditutupi celemek merah muda yang kotornya minta ampun.
            “Ayo kalian semua, kita angkat kuenya!”
            Demi Tuhan, dia pasti bukan manusia.
            Aku menelan ludah susah payah sambil terus mengekor gerakannya. Dia menari-nari kecil sambil membawa loyang berisi kue warna-warni yang terlihat enak. Semua murid mengerubunginya, memeluk tubuh mungilnya dengan erat.
            Aku terpana.
            “Zach, apa kau mendengarkanku?” tanya Scarlet marah.
           Aku tersenyum kecil, perasaan hangat menyeruak memenuhi hati dan kepalaku. “Maaf Scar, aku nggak bisa menemuimu lagi.”
           “Kenapa?” protesnya.
           “Aku buru-buru, ingin bertemu dengan seseorang. Sudah ya?”
           “Hei, kau mau bertemu siapa?” tanya Scarlet sebal.
           Perlahan kubuka pagar kecil yang membatasi trotoar dan halaman TK, semua murid termasuk si Ibu Guru Mungil menoleh ke arahku.
           “Zach, siapa yang lebih penting dariku?” tanya Scarlet lagi.
           “Calon ibu dari anak-anakku,” jawabku. Saat ponsel kumatikan, kulihat wanita itu mengelapkan tangannya terburu-buru pada celemek kemudian menyodorkan tangan padaku.
            “Asca,” sapanya. “Anda ada perlu apa?”
            Baru sedetik nama itu terngiang di telinga, otakku sudah mengukirnya dengan rapi. “Zachary. Well, sebenarnya aku nggak ada keperluan apa-apa. Aku hanya tertarik melihatmu dan anak-anak ini bermain.”
            “Kau mau ikut bermain?” seorang bocah laki-laki meremas celana 300 dollar-ku dengan tangan penuh coklat. Anehnya-bodohnya, aku tak berniat teriak atau menjungkirbalikan tubuh kecilnya. Aku malah tersenyum girang.
            “Boleh?”
            “Boleh, kan, Bu Guru?” tanya si bocah pada Asca.
            Hidung Asca yang kecil berkerut manis lucu saat pura-pura berpikir. “Boleh saja. Ayo kita ajak Paman Zach membuat kue!”
            Aku tertawa saat tangan-tangan kecil itu berebut ingin menggandeng, kemudian mengikuti mereka masuk ke sebuah dapur kecil. Disana, Asca mengeluarkan seloyang lagi kue yang semanis wujudnya. Saat anak-anak itu menghambur ke arah ibu guru mereka, semua terlihat berbeda di mataku.
            Bagaimana bisa aku ingin memiliki seorang istri yang modern dan pekerja kantoran sukses yang anti hamil dan melar sementara melihat seorang guru TK mungil yang manis dan belepotan tepung, malah membuatku berdebar-debar? Bagaimana bisa aku ingin hidup berdua dengan istriku dan menolak punya anak sementara melihat merasakan tangan kecil mereka di genggamanku saja membuatku tertawa bahagia? Aku pasti gila.
            Kalau ini memang cinta, aku yakin telah jatuh cinta. Dengan telak.
            “Hei Bu Guru, boleh aku datang lagi?” tanyaku saat kami menikmati kue hasil panggangan anak-anak. Asca yang sedang duduk di ayunan mengangguk.
            “Tentu saja.”
            “Nggak, ini bukan hanya soal bermain dan memanggang kue,”
            Kaki Asca berhenti mengayun, matanya kini lurus menatapku.
            Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku yang sombong ini berdoa penuh harap pada Tuhan. Doa singkat yang kuucapkan dengan cepat, diiringi jantung yang terasa akan melompat.
            “Aku ingin menemuimu,” kataku dengan suara bergetar. “Aku serius. Pagi, siang, sore, kapanpun aku sempat aku ingin kesini dan menemuimu. Boleh, kah?”
            Bibir kecil itu terbuka sedikit, matanya membesar perlahan. Sambil tersenyum, dia berkata, “Nggak boleh.”
            Aku terdiam.
            Tuhan, kenapa balasan doaku cepat sekali?!
            “Karena,” sambungnya malu. “Aku mengajar hanya di Hari Sabtu, Minggu, Selasa, dan Kamis.”
            Hatiku mekar. Wanita ini membiarkanku memasuki hidupnya perlahan, membolehkanku melihatnya kapanpun aku mau. Rasanya cinta tak pernah semembahagiakan dan secepat ini.
            Tuhan, kalau memang aku memiliki masa depan bersama wanita ini, tolong buat dia mengijinkanku datang melihatnya.
            Tuhan mengabulkan doa pertamaku, dan semoga untuk seterusnya. Persetan dengan wanita karir yang pulang pergi kantor. Aku cinta wanita bercelemek yang hobi masak. Wanita yang akan memeluk anak-anakku dengan hangat dan memberikan ciuman kecil di pipi sebelum tidur.
            Si sombong ini satu langkah lebih dekat dengan istri idaman. Tanpa membawa ijazah lulus dari Amerika, tanpa Porsche, tanpa embel apa-apa.
            Pada seorang wanita polos bercelemek merah muda, aku jatuh cinta.
            Padanya, aku terpana.

Celemek Merah Muda

Menjadi manajer sebuah perusahaan swasta terbesar di Jakarta saat baru dua bulan selesai bergulat dengan pendidikan dahsyat di Amerika, mendapat apartemen gratis dari perusahaan yang letaknya sejengkal dari kantor, Porsche hitam idaman yang dulu jadi wallpaper laptop kini jadi pegangan, gaji yang sanggup membuat adikku yang norak tersedak, dan wawancara majalah yang memenuhi jadwal. Inilah hidup.
            Mana ada pria yang lebih hebat dariku sekarang.
            “Tutup mulutmu, sombong!” Carol, adik bungsuku menyerngit.
            “Ini kenyataan,” kilahku.
            “Apa peduliku?” sahutnya. “Nggak semua hal luar biasa bisa kau beli dengan uang.”
            “Aku tahu pepatah itu. Pepatah lama yang akan terasa basi saat kau sedang kelimpahan uang. Bisa mengucapkannya dengan mudah karena kau belum merasakan apa yang bisa uang dan kedudukan lakukan dalam hidupmu.”
            “Oh, aku tahu. Kau berusaha mengumpulkan uang untuk menarik Scarlet kembali, kan? Dia suka uang dan sangat mencintai baunya.”
            Aku sudah menyiapkan jawaban untuk itu. “Aku nggak akan mengejar-ngejarnya lagi. Aku akan mencari wanita hebat yang karirnya menanjak, yang setiap hari berbaju rapi dan wangi dengan rambut digelung cantik, yang turun dari mobil pribadinya sambil menoleh anggun ke segala arah.”
            “Yang kalau di film-film selalu disorot bagian kakinya?”
            “Tepat.”
            “Yang bibirnya seperti bemper mobil?”
            “Itu terdengar mengerikan.”
            “Yang akan menolak punya anak?”
            Kali ini aku tercenung. “Anak?”
            “Wanita yang kau deskripsikan biasanya nggak akan mau mengorbankan karir dan tubuh semampainya hanya untuk mengandung dan melahirkan anakmu yang hidungnya pasti besar itu,” Carol menyerngit.
            Setelah berpikir secara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, otakku yang sudah keracunan Amerika dan modernisasi mendadak, langsung menolak gagasan memiliki anak. “Nggak masalah. Anak? Memangnya siapa yang menginginkan mereka? Bocah rewel yang tiap jam menangis, menganggu waktu-waktu berdua untukku dan istriku, yang belepotan susu dan buang air sembarangan. Alangkah indahnya hidup tanpa mereka!”
            Carol meraih gelas jusnya sambil menatap hampa ke arahku. “Kalau Mom berpikir senorak itu saat menikah, kau, aku, dan Dean nggak akan pernah lahir ke dunia ini. Memangnya kau dulu bukan bayi bau pesing yang hobinya menangis? Memangnya kau langsung jadi tua dan sombong begini?”
            Begitu adikku yang mulutnya setajam pisau keluar pabrik itu menghilang, aku merasa jadi sekerdil jempol kaki. Gendut, bau, dan tergesek ke tanah.

Hari ini terlalu luar biasa untuk diam di rumah. Ini Minggu yang cerah, yang udaranya seakan menarik semua kesombongan untuk keluar dan menyapa dunia dengan dagu terangkat. Dan salah satu cara menikmatinya adalah dengan memarkir mobil di depan kafe favoritku, Ladybug kemudian berjalan kaki bersama tumpukan manusia kebanyakan. Dan semoga, Scarlet yang seksi-montok-tolol itu melihatku memarkir Porsche di depan Ladybug. Lalu aku bertemu dengan si wanita karir cantik idamanku, untuk kemudian berkenalan dan semua kisah cinta modern ala Amerika yang tanpa anak dimulai.
             Tuhan, aku cinta hari ini.
            “Zach, ada yang ingin bicara denganmu,” sahut Frans cepat begitu kuangkat telponnya. Aku yang baru saja selesai memarkir Porsche kebanggaan dan berdiri dengan sengaja selama lima menit di samping si Hitam, hanya diam saat suara seorang wanita memenuhi telinga.
            “Zach, ini aku.”
            Zach, ini aku. Kau itu siapa? Seakan-akan dia wanita penting yang suaranya wajib kuhapal. Oke, aku tahu ini jelas-jelas suara Scarlet. Tapi gayanya yang seakan-akan masih berstatus penting ini membuatku ingin menamparnya dengan gajiku selama sebulan.
            “Aku nggak tahu ini siapa,” jawabku.
            Scarlet tertawa. “Kau masih hobi bercanda!”
            Oh bagus, yang barusan dia kira bercanda.
            “Apa kita bisa bertemu?” tanyanya. “Aku merindukanmu.”
            Itu terang-terangan dan membuat ngeri. “Begitu?”
            “Jangan sedingin itu,” bujuknya.
            “Kau nggak pernah begini saat aku masih mahasiswa biasa,”
            “Tapi, sekarang kau luar biasa, kan? Kau pernah bilang kalau aku adalah wanita terluar biasa yang kau kenal. Jadi, bukankah sekarang kita serasi?”
            Tanpa diduga-duga, semua kalimat yang kurancang untuk membelah kepala mantanku ini hangus tak bersisa. Semua tudingan balik yang kusiapkan untuk memarut muka dan harga dirinya habis tergilas kata-kata itu.
             Serasi.
             Apa barusan dia bilang serasi?
            “Ayo, angkat tanganmu tinggi-tinggi!”
            Aku menoleh kaget pada suara yang tiba-tiba terdengar. Suara itu berasal dari sebuah TK kecil di dekat Ladybug, sebuah TK yang sebelumnya hanya membuatku menggeleng malas mendengar teriakan anak-anak. Sementara Scarlet sibuk mengoceh tentang betapa hebatnya kami kalau kembali menjadi pasangan, aku terpaku pada sosok yang tadi mengeluarkan suara dan menyuruh muridnya mengangkat tangan.
            Darahku seperti terhisap.
            Dia, berdiri di tengah-tengah kumpulan bocah berisik, sedang tertawa selebar telinga pada murid-muridnya. Pipinya belepotan tepung, ada coklat di ujung bibir mungilnya. Rambut acak-acakan yang diikat ekor kuda dengan beberapa anak rambut bandel yang menjuntai ke mata. Tubuh mungil yang melompat-lompat dengan baju kotak-kotak kuning setengah betis, ditutupi celemek merah muda yang kotornya minta ampun.
            “Ayo kalian semua, kita angkat kuenya!”
            Demi Tuhan, dia pasti bukan manusia.
            Aku menelan ludah susah payah sambil terus mengekor gerakannya. Dia menari-nari kecil sambil membawa loyang berisi kue warna-warni yang terlihat enak. Semua murid mengerubunginya, memeluk tubuh mungilnya dengan erat.
            Aku terpana.
            “Zach, apa kau mendengarkanku?” tanya Scarlet marah.
           Aku tersenyum kecil, perasaan hangat menyeruak memenuhi hati dan kepalaku. “Maaf Scar, aku nggak bisa menemuimu lagi.”
           “Kenapa?” protesnya.
           “Aku buru-buru, ingin bertemu dengan seseorang. Sudah ya?”
           “Hei, kau mau bertemu siapa?” tanya Scarlet sebal.
           Perlahan kubuka pagar kecil yang membatasi trotoar dan halaman TK, semua murid termasuk si Ibu Guru Mungil menoleh ke arahku.
           “Zach, siapa yang lebih penting dariku?” tanya Scarlet lagi.
           “Calon ibu dari anak-anakku,” jawabku. Saat ponsel kumatikan, kulihat wanita itu mengelapkan tangannya terburu-buru pada celemek kemudian menyodorkan tangan padaku.
            “Asca,” sapanya. “Anda ada perlu apa?”
            Baru sedetik nama itu terngiang di telinga, otakku sudah mengukirnya dengan rapi. “Zachary. Well, sebenarnya aku nggak ada keperluan apa-apa. Aku hanya tertarik melihatmu dan anak-anak ini bermain.”
            “Kau mau ikut bermain?” seorang bocah laki-laki meremas celana 300 dollar-ku dengan tangan penuh coklat. Anehnya-bodohnya, aku tak berniat teriak atau menjungkirbalikan tubuh kecilnya. Aku malah tersenyum girang.
            “Boleh?”
            “Boleh, kan, Bu Guru?” tanya si bocah pada Asca.
            Hidung Asca yang kecil berkerut manis lucu saat pura-pura berpikir. “Boleh saja. Ayo kita ajak Paman Zach membuat kue!”
            Aku tertawa saat tangan-tangan kecil itu berebut ingin menggandeng, kemudian mengikuti mereka masuk ke sebuah dapur kecil. Disana, Asca mengeluarkan seloyang lagi kue yang semanis wujudnya. Saat anak-anak itu menghambur ke arah ibu guru mereka, semua terlihat berbeda di mataku.
            Bagaimana bisa aku ingin memiliki seorang istri yang modern dan pekerja kantoran sukses yang anti hamil dan melar sementara melihat seorang guru TK mungil yang manis dan belepotan tepung, malah membuatku berdebar-debar? Bagaimana bisa aku ingin hidup berdua dengan istriku dan menolak punya anak sementara melihat merasakan tangan kecil mereka di genggamanku saja membuatku tertawa bahagia? Aku pasti gila.
            Kalau ini memang cinta, aku yakin telah jatuh cinta. Dengan telak.
            “Hei Bu Guru, boleh aku datang lagi?” tanyaku saat kami menikmati kue hasil panggangan anak-anak. Asca yang sedang duduk di ayunan mengangguk.
            “Tentu saja.”
            “Nggak, ini bukan hanya soal bermain dan memanggang kue,”
            Kaki Asca berhenti mengayun, matanya kini lurus menatapku.
            Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku yang sombong ini berdoa penuh harap pada Tuhan. Doa singkat yang kuucapkan dengan cepat, diiringi jantung yang terasa akan melompat.
            “Aku ingin menemuimu,” kataku dengan suara bergetar. “Aku serius. Pagi, siang, sore, kapanpun aku sempat aku ingin kesini dan menemuimu. Boleh, kah?”
            Bibir kecil itu terbuka sedikit, matanya membesar perlahan. Sambil tersenyum, dia berkata, “Nggak boleh.”
            Aku terdiam.
            Tuhan, kenapa balasan doaku cepat sekali?!
            “Karena,” sambungnya malu. “Aku mengajar hanya di Hari Sabtu, Minggu, Selasa, dan Kamis.”
            Hatiku mekar. Wanita ini membiarkanku memasuki hidupnya perlahan, membolehkanku melihatnya kapanpun aku mau. Rasanya cinta tak pernah semembahagiakan dan secepat ini.
            Tuhan, kalau memang aku memiliki masa depan bersama wanita ini, tolong buat dia mengijinkanku datang melihatnya.
            Tuhan mengabulkan doa pertamaku, dan semoga untuk seterusnya. Persetan dengan wanita karir yang pulang pergi kantor. Aku cinta wanita bercelemek yang hobi masak. Wanita yang akan memeluk anak-anakku dengan hangat dan memberikan ciuman kecil di pipi sebelum tidur.
            Si sombong ini satu langkah lebih dekat dengan istri idaman. Tanpa membawa ijazah lulus dari Amerika, tanpa Porsche, tanpa embel apa-apa.
            Pada seorang wanita polos bercelemek merah muda, aku jatuh cinta.
            Padanya, aku terpana.

Happy Mother's day ! ♥


Selamat Hari Ibu, Ibuku sayang!

Selain ucapan terima kasih yang semesta pun nggak akan sanggup menampungnya, aku ingin meminta maaf. Sekali lagi ingin meminta maaf atas semua, tiap jengkal kesalahan dan sakit hati yang mungkin membekas padamu. Aku tahu, Ibu nggak akan dendam padaku. Ibu super baik dan aku selalu tahu itu.

Ibu, terima kasih.

Ibu, terima kasih.

Ibu, terima kasih.

Semoga Ibu selalu dalam pelukan Tuhan. Penuh berkah, penuh lindungan, penuh sayang. Tuhan, tolong bangunkan satu istana megah untuk Ibuku, kelak kalau Kau memanggilnya. Aku yang selalu berbuat salah ini, yang dianugrahi Ibu yang luar biasa ini, meminta-Mu untuk menjaganya selalu.

Tuhan, terima kasih sudah menggariskan ini. Bahwa aku ditakdirkan menjadi anaknya.

"I LOVE YOU, MOM. YOU ARE MY EVERYTHING!"

Happy Mother's day ! ♥


Selamat Hari Ibu, Ibuku sayang!

Selain ucapan terima kasih yang semesta pun nggak akan sanggup menampungnya, aku ingin meminta maaf. Sekali lagi ingin meminta maaf atas semua, tiap jengkal kesalahan dan sakit hati yang mungkin membekas padamu. Aku tahu, Ibu nggak akan dendam padaku. Ibu super baik dan aku selalu tahu itu.

Ibu, terima kasih.

Ibu, terima kasih.

Ibu, terima kasih.

Semoga Ibu selalu dalam pelukan Tuhan. Penuh berkah, penuh lindungan, penuh sayang. Tuhan, tolong bangunkan satu istana megah untuk Ibuku, kelak kalau Kau memanggilnya. Aku yang selalu berbuat salah ini, yang dianugrahi Ibu yang luar biasa ini, meminta-Mu untuk menjaganya selalu.

Tuhan, terima kasih sudah menggariskan ini. Bahwa aku ditakdirkan menjadi anaknya.

"I LOVE YOU, MOM. YOU ARE MY EVERYTHING!"

Lirik lagu Agnes monica - Rapuh

Belum sempat ku membagi kebahagiaanku
Belum sempat ku membuat dia tersenyum
Haruskah ku kehilangan ’tuk kesekian kali
Tuhan kumohon jangan lakukan itu
*courtesy of LirikLaguIndonesia.net
Reff :
Sebab ku sayang dia
Sebab ku kasihi dia
Sebab ku tak rela
Tak s’lalu bersama
Ku rapuh tanpa dia
Seperti kehilangan harap
Jikalau memang harus ku alami duka
Kuatkan hati ini menerimanya
Back to Reff 2x

Lirik lagu Agnes monica - Rapuh

Belum sempat ku membagi kebahagiaanku
Belum sempat ku membuat dia tersenyum
Haruskah ku kehilangan ’tuk kesekian kali
Tuhan kumohon jangan lakukan itu
*courtesy of LirikLaguIndonesia.net
Reff :
Sebab ku sayang dia
Sebab ku kasihi dia
Sebab ku tak rela
Tak s’lalu bersama
Ku rapuh tanpa dia
Seperti kehilangan harap
Jikalau memang harus ku alami duka
Kuatkan hati ini menerimanya
Back to Reff 2x