Kota
Jakarta terancam mengelami krisis air ini disebabkan oleh peningkatan volume
kebutuhan masyarakat tidak sebanding dengan ketersediaan air di ibu kota.
Kondisi ini sudah mulai terlihat bila air PDAM mati beberapa saat. Masyarakat kebingungan
mencari air. Bahkan di sebagian kawasan, seperti Jakarta Utara, mereka rela
menggunakan air seadanya untuk memenuhi kebutuhan mandi dan cuci. Untuk air
minum, mereka rela merogoh kocek untuk membeli air meski dengan harga mahal.
Ketua
umum Indonesia Water Institute, Firdaus Ali, dalam satu kesempatan,
mengungkapkan, Jakarta pada 2015 diperkirakan akan mengalami defisit 23,720
liter air per detik. Sementara saat ini ketersediaan ar hanya mampu memasok 2,2
persen dari kebutuhan air bersih warganya.
Kondisi
ini ditambah parah bila menilik kondisi sumber air baku di Jakarta. Berdasarkan
pemantauan BPLHD DKI terhadap status mutu air sungai di 45 titik pantau di 13
daerah aliran sungai (DAS) pada 2010, tercatat semua dalam kondisi tercemar
sedang sampai berat. Hasil pemantauan secara rinci yaitu nol persen dalam
kondisi baik, sembila persen dalam kondisi tercemar ringan, sembilan persen
dalam kondisi tercemar sedang dan 83 persen dalam kondisi tercemar berat.
Apa
yang terjadi di Jakarta ini sangat mungkin terjadi pula di kota-kota besar di
Indonesia terutama di Jawa. Sudah ada kecenderungan yang menunjukkan ke arah
sana.
Permasalahan Air
Baku
Tidak
hanya dari kualitas air yang buruk, sungai-sungai yang melintas ke kota-kota
besar, terutama Jakarta, kian hari kuantitasnya pun semakin menurun. Terkadang
kontinyuitasnya pun terganggu.
Direktur
kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air Bappenas, Basah Hernowo menilai,
penyebab utama terjadinya krisis air baku ini adalah kerusakan hutan. “ Hutan
sudah dirusak,” katanya.
Pulau
Jawa misalnya. Menurutnya, Jawa sebenarnya tidak untuk menjadi kota pulai. Tapi
sekarang hampir semua aktivitas ekonomi ada di Jawa. Sekitar 60 persen penduduk
Indonesia sekarang ada di Jawa. Padahal Pulai Jawa mempunyai kapasitas
maksimum. “Akhirnya tata ruang mengakomodasi setiap perambahan hutan. Tata
ruang untuk konservasi direvisi. Jadi di situlah letak kesalahan kita,”
paparnya.
Ia
menjelaskan dengan rusaknya hutan di hulu jelas merusak kesediaan air baku.
Sedangkan dengan ketidakadaan hutan di hilir maka iklim mikro jadi tidak
menentu. Hal lain ketika hutan konservasi dialihfungsikan menjadi perkebunan
kentang, kol atau tanaman semusim lainnya juga akan menimbulkan dampak terhadap
kualitas air. Begitu hujan, top soilnya hilang. Dan ketika tanah sudah tidak
subur, petani menambahkan pupuk dan pestisida. Akibatnya, pupuk dan pestisida
itu mencemari lingkungan. Air dari hulu ini kemudian mencemari air yang diolah
oleh PDAM.
Ketua
Forkami, Abdullah Mutholib menambahkan, kondisi sumber air baku yang buruk ini
juga dipengaruhi oleh masalah perilaku masyarakat. “Ada faktor budaya
masyarakat,” katanya.
Di
perjalanan, jelasnya, air ini mengalami pencemaran akibat ulah manusia. Untuk
kasus Jakarta misalnya, air dari waduk Jatiluhur sudah mulai tercemar sejak di
waduk karena limbah pariwisata dan industri. Dalam perjalanan, pencemaran itu
bertambah dengan perilaku masyarakat membuah limbah rumah tangga atau industri.
“Jadi biaya untuk mengolah air baku yang tercemar ini menjadi air yang bisa
diminum makin mahal,” katanya.
Sementara
itu, bagi kota seperti Jakarta, air tanahnya sangat terbatas karena letak
geografis Jakarta berada di pinggir laut di mana instrusi air laut sudah mulai
masuk. Inilah yang tidak memungkinkan PDAM menjadikan air tanah sebagai sumber
air baku di DKI. “Masalah air baku ini memang jadi masalah yang cukup rumit,”
sambungnya.
Butuh Penanganan
Serius
Melihat
fakta tersebut, mau tidak mau permasalahan air baku ini membutuhkan penanganan
yang sangat serius. Dan ini tidak bisa tidak melibatkan banyak pihak terkait.
Basah
Hernowo berpendapat perlu ada hutanisasi kembali kawasan sumber air baku.
Misalnya Jakarta dimana sumber airnya dari Puncak, Bogor maka kawasan itu harus
dikonservasi. Jadi konservasi di daerah hulu melalui hutan itu harus. Tidak
bisa solusinya diserahkan ke engineering,” tandasnya.
Ia
mengambil contoh pengalaman yang terjadi di Kota New York, Amerika Serikat.
Berberapa puluh tahun lalu pemerintah setempat mulai menghitung bahwa penduduk
New York butuh air minum dalam jumlah banyak sementara sumber air bakunya
terbatas. Saat itu muncul dua pilihan. Pertama, menyelamatkan hulunya
yang pada waktu itu adalah milik banyak orang atau kedua, membangun instalasi
pengolahan air. Setelah dipertimbangkan dengan matang, kesimpulannya satu,
konservasi hulu.
Pemerintah
setempat membeli semua dari hulu dan dijadikan daerah konservasi. Yang terjadi
apa sekarang? New York mendapat pasukan air baku yang sangat baik tanpa ongkos
produksi yang tinggi. Mengapa? Karena air bakunya sudah bersih dari polutan,
bersih dari kimia yang membahayakan. “Karena hulunya itu sudah diselamatkan,”
tandasnya
Model
ini, menurutnya bisa diambil untuk mengatasi masalah air di Jakarta. Kawasan
Puncak, Gunung Salak, Gunung Pancar, harus dibebaskan dari aktivitas yang tidak
terkait dengan konservasi. Tidak boleh lagi ditanami teh dan tanaman musiman
atau menjadi kawasan perumahan. Kawasan itu harus dihutankan kembali. “Jakarta
harus mau sharing penyelamatan terhadap 13 hulu sungai dari sekarang, sehingga
20-30 tahun kemudian tidak ada masalah air baku lagi,” tandasnya. Hanya saja,
ini baru akan terjadi jika ada kemauan politik dari pemerintah.
Pembuatan
dam penampung air, lanjut Basah, selain mahal juga masa pakainya hanya beberapa
tahun. “Itu tidak menyelesaikan akar masalah. Kan yang dirusak itu hulunya.
Ketika hulunya gundul, yang kumpul di dam itu bukan air tetapi lumpur dan
pasir,” jelasnya.
Ia
pun tidak sepakat dengan adanya pembuatan biopori di daerah perkotaan untuk
meningkatkan resapan air. Seperti di Jakarta, biopori tidak terlalu bermanfaat
karena kondisi topografinya yang merupakan dataran rendah sehingga airnya
jenuh. “Tetapi kalau bioporinya di hulu sungai baru signifikan. Itu pun
tergantung kondisi geologi. Kalau batuannya sangat padat, air juga tidak bisa
mengalir. Yang bisa membuat air bisa terus menyerap adalah akar pohon. Nah,
sekarang pohonnya ditebang. Akarnya berhenti, busuk dia. Airnya tidak menetes
lagi tetapi ngalir, jadilah bencana,” jelas Basah.
Selain
itu ia menawarkan kebijakan tata ruang yang benar. Menurutnya, rumah tidak
boleh lagi dibangun ke samping tapi ke atas. “ Boleh buat perumahan, tetapi
harus naik ke atas. Horizontal. Sisanya jadikan hutan,” tandasnya.
Memang
di sini dibutuhkan penegakan hukum yang kuat. Hutan-hutan tidak boleh
dikonversi menjadi perumahan atau vila. Ia pun menekankan pentingnya hutan
kota. Mengapa karena hutan mengatur iklim mikro. Hutan bisa menyerap emisi
sekaligus air. Minimnya hutan menjadi emisi tidak diserap akibatnya suku
meningkat. Peningkatan suhu ini menjadikan penguapan tinggi. Penguapan tinggi
yang belum pada masanya menyebabkan angin puting. “Jadi hutan itu memang
mengonsumsi air dan juga mengatur air,” katanya.
Makanya,
menurutnya, perlu ada hutan kota. Ia kurang sependapat dengan adanya ruang terbuka
hijau, bahkan ada yang mencanangkan 30 persen. Ia beralasan bahwa ruang terbuka
hijau itu biasanya adalah areal yang ditumbuhi rumput. Padahal rumput, dari
segi mengurangi emisi, kecil sekali. Dari segi air, tidak juga menyimpan air.
Ini sangat berbeda dengan hutan. Dan hutan kota pun sebenarnya bisa dijadikan
area rekreasi seperti di Franfrut, Jerman.
Dilihat
dari sisi perubahan iklim, Kepala Subdirektorat Pengendalian Pencemaran dan
Kerusakan Lingkungan Hidup, Bappenas, Tri Dewi Virgiyanti menyatakan,
penyelamatan air baku sangat mungkin dilakukan. Caranya dengan melihat terlebih
dahulu skenario climate change-nya. Seberapa besar proyeksi curah hujannya,
kekeringannya seperti apa, dan bagaimana perubahan iklimnya. Kemudian dihitung
berapa banyak curah hujannya sehingga berapa besar tampungan yang akan dibuat,
atau perbaikan lahan supaya penyerapan airnya dapat maksimal.
Ini
penting karena setiap daerah memiliki karakter masing-masing. Misalnya, curah
hujan meningkat di Jawa Barat, Jawa Timur dan Bali. Tetapi menurun di Banten
dan Jawa Tengah. Artinya Jawa Barat, Jawa Timur dan Bali harus dihitung lagi
supaya air yang turun bisa kita manfaatkan. Atau yang di Banten dan Jawa
Tengah, bagaimana caranya memanfaatkan curah hujan yang menurun itu semaksimal
mungkin,” paparnya.
Beberapa
cara yang memungkinkan untuk menyelamatkan air ini antara lain penanaman pohon
untuk memperbanyak penyerapan air dan juga pembuatan reservoar. Di sektor
pertanian yang dapat dilakukan adalah dengan perubahan pola tanam. Ia juga menekankan
bahwa penanaman merupakan cara yang paling efektif agar air meresap ke dalam
tanah secara maksimal dan menjadi cadangan air.
Perubahan Perilaku
Selain
penanganan sumber air baku di dulu, masyarakat pun perlu diubah perilakunya.
Ketua Forkami menandaskan pentingnya masyarakat menjaga aliran sungai agar
terbebas dari pencemaran. Selama ini pemerintah telah melarang masyarakat untuk
tidak membuang sampah sembarangan ke sungai, termasuk limbah. Tapi hasilnya
belum memuaskan. Kesadaran masyarakat masih rendah.
Termasuk
pula larangan pemerintah untuk tidak menebang pohon sembarangan, juga belum
diindahkan oleh masyarakat. Bahkan sebagian anggota masyarakat berani merambah
ke hutan-hutan lindung. Padahal hal tersebut sangat merusak lingkungan dan dampaknya
mengganggu ketersediaan air.
Maka,
menurutnya kebijakan ini perlu terus digalakkan dan disertai dengan penegakan
hukum yang tegas. Selain itu, perlu pula disertai dengan advokasi secara masif
kepada masyarakat dalam bentuk kampanye dan sejenisnya yang mudah diterima oleh
masyarakat.
Di
sisi individual rumah tangga, lanjutnya, masyarkat perlu diberi pemahaman
tentang sanitasi yang baik. Misalnya, bagaimana membangun tangki septik yang
baik dan sehat agar tidak mencemari lingkungan. “Pemerintah itu harus
benar-benar memberikan penyuluhan epada masyarakat untuk mengubah perilakunya
terhadap lingkungan dan juga melakukan penjagaan-penjagaan terhadap mata air.
Mata air harus dilindungi, jangan menebang utan seenaknya,” tandasnya.
Selain
itu perilaku masyarakat untuk berhemat dalam pemakaian air juga perlu
ditekankan. Juga bagaimana masyarakat mulai dibiasakan untuk mendaur ulang air
bekas untuk kemudian digunakan bagi keperluan lainnya. Misalnya air bekas kamar
mandi bisa diolah untuk keperluan menyiram tanaman atau mencuci mobil.
Alternatif Sumber
Air Baku
Melakukan
konservasi hutan memang prioritas yang harus dilakukan dalam mengamankan sumber
air baku. Pasalnya, hal itu merupakan alternatif paling mudah dan murah yang
dapat dilakukan. Tidak seperti alternatif menyuling air dan menampung air hujan
yang membutuhkan biaya besar.
Abdullah
Mutholib menjelaskan negara-negara Arab saat ini banyak menggunakan air laut
sebagai bahan baku air minum. Caranya dengan penyulingan “Kalau kita tidak
cepat-cepat mengatasi masalah sumber air baku kita saat ini maka memang
akibatnya air laut dijadikan air minum. Tapi ini biayanya cukup besar. Mahal
sekali. Tidak terjangkau oleh daya beli masyarakat,” tandasnya.
Di
samping itu, ada kemungkinan memanfaatkan air hujan sebagai sumber air baku.
Misalnya, katanya dengan mewajibkan masyarakat terutama perusahaan besar untuk
membuat tandon (penyimpanan) air hujan di dalam tanah. Bisa juga pemda membuat
situ di wilayah yang rendah untuk menampung air hujan sebagai sumber air
bakunya. “Perlu pemanfaatan air permukaan secara lebih terpadu sehingga sumber
air baku lebih memadai,” kata Abdullah.
Pengamanan Air
Di
luar persoalan menyelamatkan air baku tersebut, ada satu hal yang patut
diperhitungkan yakni bagaimana air yang telah ada bagi kebutuhan manusia.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) telah meluncurkan program Water Safety Plan
(WSP) atau Rencana Pengamanan Air.
Program
wSP ini didisain untuk mengurangi, mengeliminas atau mencegah kontaminasi dan
rekontaminasi penyediaan air. Dalam pengembangannya, program ini melibatkan
pencegahan kontaminasi pada usmber air; pengolahan air untuk enghilangkan atau
mereduksi kontaminasi yang menjadi target kesehatan dan mencegah terjadinya
kontaminasi ulang selama penyimpanan, distribusi dan penanganan air.
Melalui
program ini, risiko kesehatan yang timbul akibat mengonsumsi air bisa dicegah
lebih dini. Dan air yang dikonsumsi masyarakat diarahkan agar benar-benar aman
bagi kesehatan.
Walhasil,
menyelamatkan air merupakan suatu keharusan. Apalagi jika dilihat dari
kecenderungan pasukan air di dunia yang menurun akibat perubahan iklim dan
kebutuhan yang meningkat akan pangan, energi serta keberhasilan dan kesehatan
bagi penduduk yang terus bertambah.
Dari
sisi rumah tangga, pengolahan air skala rumah tangga perlu dilakukan. Selain
itu, masyarakat harus ikut andil dalam menghemat air. Tak lupa, green building
perlu dikembangkan. Sedangkan dari sisi suplai perlu ada upaya untuk mencari
sumber air baku lainnya misalnya air hujan dan penyulingan air laut. Sementara
untuk memelihara dan melestarikan sumber air baku yang ada perlu upaya
konservasi secara serius.
Studi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerukan pemikiran kembali secara radikal
semua kebijakan untuk menangani berbagai permintaan air. Air segar tak dimanfaatkan
secara berkelanjutan,” kata Direktur Jenderal UNESCO, Irina Bokova di dalam
satu pernyataan. Selamatkan Air Kita!
Tidak ada komentar :
Posting Komentar