Sabtu, 17 Mei 2014

menyelamatkan air untuk masa depan

Kota Jakarta terancam mengelami krisis air ini disebabkan oleh peningkatan volume kebutuhan masyarakat tidak sebanding dengan ketersediaan air di ibu kota. Kondisi ini sudah mulai terlihat bila air PDAM mati beberapa saat. Masyarakat kebingungan mencari air. Bahkan di sebagian kawasan, seperti Jakarta Utara, mereka rela menggunakan air seadanya untuk memenuhi kebutuhan mandi dan cuci. Untuk air minum, mereka rela merogoh kocek untuk membeli air meski dengan harga mahal.
Ketua umum Indonesia Water Institute, Firdaus Ali, dalam satu kesempatan, mengungkapkan, Jakarta pada 2015 diperkirakan akan mengalami defisit 23,720 liter air per detik. Sementara saat ini ketersediaan ar hanya mampu memasok 2,2 persen dari kebutuhan air bersih warganya.
Kondisi ini ditambah parah bila menilik kondisi sumber air baku di Jakarta. Berdasarkan pemantauan BPLHD DKI terhadap status mutu air sungai di 45 titik pantau di 13 daerah aliran sungai (DAS) pada 2010, tercatat semua dalam kondisi tercemar sedang sampai berat. Hasil pemantauan secara rinci yaitu nol persen dalam kondisi baik, sembila persen dalam kondisi tercemar ringan, sembilan persen dalam kondisi tercemar sedang dan 83 persen dalam kondisi tercemar berat.
Apa yang terjadi di Jakarta ini sangat mungkin terjadi pula di kota-kota besar di Indonesia terutama di Jawa. Sudah ada kecenderungan yang menunjukkan ke arah sana.
Permasalahan Air Baku
Tidak hanya dari kualitas air yang buruk, sungai-sungai yang melintas ke kota-kota besar, terutama Jakarta, kian hari kuantitasnya pun semakin menurun. Terkadang kontinyuitasnya pun terganggu.
Direktur kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air Bappenas, Basah Hernowo menilai, penyebab utama terjadinya krisis air baku ini adalah kerusakan hutan. “ Hutan sudah dirusak,” katanya.
Pulau Jawa misalnya. Menurutnya, Jawa sebenarnya tidak untuk menjadi kota pulai. Tapi sekarang hampir semua aktivitas ekonomi ada di Jawa. Sekitar 60 persen penduduk Indonesia sekarang ada di Jawa. Padahal Pulai Jawa mempunyai kapasitas maksimum. “Akhirnya tata ruang mengakomodasi setiap perambahan hutan. Tata ruang untuk konservasi direvisi. Jadi di situlah letak kesalahan kita,” paparnya.
Ia menjelaskan dengan rusaknya hutan di hulu jelas merusak kesediaan air baku. Sedangkan dengan ketidakadaan hutan di hilir maka iklim mikro jadi tidak menentu. Hal lain ketika hutan konservasi dialihfungsikan menjadi perkebunan kentang, kol atau tanaman semusim lainnya juga akan menimbulkan dampak terhadap kualitas air. Begitu hujan, top soilnya hilang. Dan ketika tanah sudah tidak subur, petani menambahkan pupuk dan pestisida. Akibatnya, pupuk dan pestisida itu mencemari lingkungan. Air dari hulu ini kemudian mencemari air yang diolah oleh PDAM.
Ketua Forkami, Abdullah Mutholib menambahkan, kondisi sumber air baku yang buruk ini juga dipengaruhi oleh masalah perilaku masyarakat. “Ada faktor budaya masyarakat,” katanya.
Di perjalanan, jelasnya, air ini mengalami pencemaran akibat ulah manusia. Untuk kasus Jakarta misalnya, air dari waduk Jatiluhur sudah mulai tercemar sejak di waduk karena limbah pariwisata dan industri. Dalam perjalanan, pencemaran itu bertambah dengan perilaku masyarakat membuah limbah rumah tangga atau industri. “Jadi biaya untuk mengolah air baku yang tercemar ini menjadi air yang bisa diminum makin mahal,” katanya.
Sementara itu, bagi kota seperti Jakarta, air tanahnya sangat terbatas karena letak geografis Jakarta berada di pinggir laut di mana instrusi air laut sudah mulai masuk. Inilah yang tidak memungkinkan PDAM menjadikan air tanah sebagai sumber air baku di DKI. “Masalah air baku ini memang jadi masalah yang cukup rumit,” sambungnya.
Butuh Penanganan Serius
Melihat fakta tersebut, mau tidak mau permasalahan air baku ini membutuhkan penanganan yang sangat serius. Dan ini tidak bisa tidak melibatkan banyak pihak terkait.
Basah Hernowo berpendapat perlu ada hutanisasi kembali kawasan sumber air baku. Misalnya Jakarta dimana sumber airnya dari Puncak, Bogor maka kawasan itu harus dikonservasi. Jadi konservasi di daerah hulu melalui hutan itu harus. Tidak bisa solusinya diserahkan ke engineering,” tandasnya.
Ia mengambil contoh pengalaman yang terjadi di Kota New York, Amerika Serikat. Berberapa puluh tahun lalu pemerintah setempat mulai menghitung bahwa penduduk New York butuh air minum dalam jumlah banyak sementara sumber air bakunya terbatas.  Saat itu muncul dua pilihan. Pertama, menyelamatkan hulunya yang pada waktu itu adalah milik banyak orang atau kedua, membangun instalasi pengolahan air. Setelah dipertimbangkan dengan matang, kesimpulannya satu, konservasi hulu.
Pemerintah setempat membeli semua dari hulu dan dijadikan daerah konservasi. Yang terjadi apa sekarang? New York mendapat pasukan air baku yang sangat baik tanpa ongkos produksi yang tinggi. Mengapa? Karena air bakunya sudah bersih dari polutan, bersih dari kimia yang membahayakan. “Karena hulunya itu sudah diselamatkan,” tandasnya
Model ini, menurutnya bisa diambil untuk mengatasi masalah air di Jakarta. Kawasan Puncak, Gunung Salak, Gunung Pancar, harus dibebaskan dari aktivitas yang tidak terkait dengan konservasi. Tidak boleh lagi ditanami teh dan tanaman musiman atau menjadi kawasan perumahan. Kawasan itu harus dihutankan kembali. “Jakarta harus mau sharing penyelamatan terhadap 13 hulu sungai dari sekarang, sehingga 20-30 tahun kemudian tidak ada masalah air baku lagi,” tandasnya. Hanya saja, ini baru akan terjadi jika ada kemauan politik dari pemerintah.
Pembuatan dam penampung air, lanjut Basah, selain mahal juga masa pakainya hanya beberapa tahun. “Itu tidak menyelesaikan akar masalah. Kan yang dirusak itu hulunya. Ketika hulunya gundul, yang kumpul di dam itu bukan air tetapi lumpur dan pasir,” jelasnya.
Ia pun tidak sepakat dengan adanya pembuatan biopori di daerah perkotaan untuk meningkatkan resapan air. Seperti di Jakarta, biopori tidak terlalu bermanfaat karena kondisi topografinya yang merupakan dataran rendah sehingga airnya jenuh. “Tetapi kalau bioporinya di hulu sungai baru signifikan. Itu pun tergantung kondisi geologi. Kalau batuannya sangat padat, air juga tidak bisa mengalir. Yang bisa membuat air bisa terus menyerap adalah akar pohon. Nah, sekarang pohonnya ditebang. Akarnya berhenti, busuk dia. Airnya tidak menetes lagi tetapi ngalir, jadilah bencana,” jelas Basah.
Selain itu ia menawarkan kebijakan tata ruang yang benar. Menurutnya, rumah tidak boleh lagi dibangun ke samping tapi ke atas. “ Boleh buat perumahan, tetapi harus naik ke atas. Horizontal. Sisanya jadikan hutan,” tandasnya.
Memang di sini dibutuhkan penegakan hukum yang kuat. Hutan-hutan tidak boleh dikonversi menjadi perumahan atau vila. Ia pun menekankan pentingnya hutan kota. Mengapa karena hutan mengatur iklim mikro. Hutan bisa menyerap emisi sekaligus air. Minimnya hutan menjadi emisi tidak diserap akibatnya suku meningkat. Peningkatan suhu ini menjadikan penguapan tinggi. Penguapan tinggi yang belum pada masanya menyebabkan angin puting. “Jadi hutan itu memang mengonsumsi air dan juga mengatur air,” katanya.
Makanya, menurutnya, perlu ada hutan kota. Ia kurang sependapat dengan adanya ruang terbuka hijau, bahkan ada yang mencanangkan 30 persen. Ia beralasan bahwa ruang terbuka hijau itu biasanya adalah areal yang ditumbuhi rumput. Padahal rumput, dari segi mengurangi emisi, kecil sekali. Dari segi air, tidak juga menyimpan air. Ini sangat berbeda dengan hutan. Dan hutan kota pun sebenarnya bisa dijadikan area rekreasi seperti di Franfrut, Jerman.
Dilihat dari sisi perubahan iklim, Kepala Subdirektorat Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup, Bappenas, Tri Dewi Virgiyanti menyatakan, penyelamatan air baku sangat mungkin dilakukan. Caranya dengan melihat terlebih dahulu skenario climate change-nya. Seberapa besar proyeksi curah hujannya, kekeringannya seperti apa, dan bagaimana perubahan iklimnya. Kemudian dihitung berapa banyak curah hujannya sehingga berapa besar tampungan yang akan dibuat, atau perbaikan lahan supaya penyerapan airnya dapat maksimal.
Ini penting karena setiap daerah memiliki karakter masing-masing. Misalnya, curah hujan meningkat di Jawa Barat, Jawa Timur dan Bali. Tetapi menurun di Banten dan Jawa Tengah. Artinya Jawa Barat, Jawa Timur dan Bali harus dihitung lagi supaya air yang turun bisa kita manfaatkan. Atau yang di Banten dan Jawa Tengah, bagaimana caranya memanfaatkan curah hujan yang menurun itu semaksimal mungkin,” paparnya.
Beberapa cara yang memungkinkan untuk menyelamatkan air ini antara lain penanaman pohon untuk memperbanyak penyerapan air dan juga pembuatan reservoar. Di sektor pertanian yang dapat dilakukan adalah dengan perubahan pola tanam. Ia juga menekankan bahwa penanaman merupakan cara yang paling efektif agar air meresap ke dalam tanah secara maksimal dan menjadi cadangan air.
Perubahan Perilaku
Selain penanganan sumber air baku di dulu, masyarakat pun perlu diubah perilakunya. Ketua Forkami menandaskan pentingnya masyarakat menjaga aliran sungai agar terbebas dari pencemaran. Selama ini pemerintah telah melarang masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan ke sungai, termasuk limbah. Tapi hasilnya belum memuaskan. Kesadaran masyarakat masih rendah.
Termasuk pula larangan pemerintah untuk tidak menebang pohon sembarangan, juga belum diindahkan oleh masyarakat. Bahkan sebagian anggota masyarakat berani merambah ke hutan-hutan lindung. Padahal hal tersebut sangat merusak lingkungan dan dampaknya mengganggu ketersediaan air.
Maka, menurutnya kebijakan ini perlu terus digalakkan dan disertai dengan penegakan hukum yang tegas. Selain itu, perlu pula disertai dengan advokasi secara masif kepada masyarakat dalam bentuk kampanye dan sejenisnya yang mudah diterima oleh masyarakat.
Di sisi individual rumah tangga, lanjutnya, masyarkat perlu diberi pemahaman tentang sanitasi yang baik. Misalnya, bagaimana membangun tangki septik yang baik dan sehat agar tidak mencemari lingkungan. “Pemerintah itu harus benar-benar memberikan penyuluhan epada masyarakat untuk mengubah perilakunya terhadap lingkungan dan juga melakukan penjagaan-penjagaan terhadap mata air. Mata air harus dilindungi, jangan menebang utan seenaknya,” tandasnya.
Selain itu perilaku masyarakat untuk berhemat dalam pemakaian air juga perlu ditekankan. Juga bagaimana masyarakat mulai dibiasakan untuk mendaur ulang air bekas untuk kemudian digunakan bagi keperluan lainnya. Misalnya air bekas kamar mandi bisa diolah untuk keperluan menyiram tanaman atau mencuci mobil.
Alternatif Sumber Air Baku
Melakukan konservasi hutan memang prioritas yang harus dilakukan dalam mengamankan sumber air baku. Pasalnya, hal itu merupakan alternatif paling mudah dan murah yang dapat dilakukan. Tidak seperti alternatif menyuling air dan menampung air hujan yang membutuhkan biaya besar.
Abdullah Mutholib menjelaskan negara-negara Arab saat ini banyak menggunakan air laut sebagai bahan baku air minum. Caranya dengan penyulingan “Kalau kita tidak cepat-cepat mengatasi masalah sumber air baku kita saat ini maka memang akibatnya air laut dijadikan air minum. Tapi ini biayanya cukup besar. Mahal sekali. Tidak terjangkau oleh daya beli masyarakat,” tandasnya.
Di samping itu, ada kemungkinan memanfaatkan air hujan sebagai sumber air baku. Misalnya, katanya dengan mewajibkan masyarakat terutama perusahaan besar untuk membuat tandon (penyimpanan) air hujan di dalam tanah. Bisa juga pemda membuat situ di wilayah yang rendah untuk menampung air hujan sebagai sumber air bakunya. “Perlu pemanfaatan air permukaan secara lebih terpadu sehingga sumber air baku lebih memadai,” kata Abdullah.
Pengamanan Air
Di luar persoalan menyelamatkan air baku tersebut, ada satu hal yang patut diperhitungkan yakni bagaimana air yang telah ada bagi kebutuhan manusia. Organisasi kesehatan dunia (WHO) telah meluncurkan program Water Safety Plan (WSP) atau Rencana Pengamanan Air.
Program wSP ini didisain untuk mengurangi, mengeliminas atau mencegah kontaminasi dan rekontaminasi penyediaan air. Dalam pengembangannya, program ini melibatkan pencegahan kontaminasi pada usmber air; pengolahan air untuk enghilangkan atau mereduksi kontaminasi yang menjadi target kesehatan dan mencegah terjadinya kontaminasi ulang selama penyimpanan, distribusi dan penanganan air.
Melalui program ini, risiko kesehatan yang timbul akibat mengonsumsi air bisa dicegah lebih dini. Dan air yang dikonsumsi masyarakat diarahkan agar benar-benar aman bagi kesehatan.
Walhasil, menyelamatkan air merupakan suatu keharusan. Apalagi jika dilihat dari kecenderungan pasukan air di dunia yang menurun akibat perubahan iklim dan kebutuhan yang meningkat akan pangan, energi serta keberhasilan dan kesehatan bagi penduduk yang terus bertambah.
Dari sisi rumah tangga, pengolahan air skala rumah tangga perlu dilakukan. Selain itu, masyarakat harus ikut andil dalam menghemat air. Tak lupa, green building perlu dikembangkan. Sedangkan dari sisi suplai perlu ada upaya untuk mencari sumber air baku lainnya misalnya air hujan dan penyulingan air laut. Sementara untuk memelihara dan melestarikan sumber air baku yang ada perlu upaya konservasi secara serius.
Studi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerukan pemikiran kembali secara radikal semua kebijakan untuk menangani berbagai permintaan air. Air segar tak dimanfaatkan secara berkelanjutan,” kata Direktur Jenderal UNESCO, Irina Bokova di dalam satu pernyataan. Selamatkan Air Kita!

Tidak ada komentar :

Posting Komentar