Hujan dan Pelangi
Kemeja kusut biru tua dan sepasang Converse yang telah termakan usia.
Vespa berwarna toska yang mencolok mata. Hari ini, di bawah gerimis, dia
membawa sebungkus gorengan di tangannya. Terlihat kepayahan dengan
jaket kulit yang belum sepenuhnya terpakai dan motor yang tak kunjung
hidup. Rambut setengah ikalnya terjatuh menutupi sebagian pipi yang
tirus, hidung mancungnya jadi satu-satunya yang dapat kulihat dari wajah
yang kini terasa begitu familiar. Begitu akrab. Seidentik pagi dengan
telur mata sapi dan kopi, atau sore dengan secangkir teh hangat dan
gurauan singkat.
Hujan tak juga reda. Gerutuan di halte mulai terdengar, mendadak hujan
jadi seperti pembunuh keji yang pantas dihujat sesukanya. Suara protes
dan rencana yang tertunda, seseorang yang menunggu di suatu tempat, atau
kejutan yang berantakan. Dasar, hujan.
Katanya, saat hujan adalah waktu baik untuk berdoa. Doa macam apa yang ingin kuminta. Aku minim pinta.
Si pria kurus ber-Vespa melewati halte tempat segala kejemuan berada.
Seorang diri di jalanan yang sepi, dia menerobos hujan. Kurasa dia
satu-satunya yang tak marah pada keadaan. Atau marah, tapi lebih ingin
menerima.
Ah, cepat sekali kepala dan hatiku sepakat kalau ini cinta.
Kemudian, hujan berhenti. Rintikan mulai reda, tetesan kecil mulai meninggalkan tempat-tempat yang mereka jatuhi. Mereka yang berteduh kembali memenuhi jalan, berbaur dengan udara lembab setelah hujan. Sementara aku masih berdiri di halte, sendiri, menyaksikan lahirnya pelangi. Semburat warna-warni yang melengkung di sisa-sisa gelap langit yang mulai membiru laut lagi.
Dari ujung jalan, kulihat si pria kurus yang entah kenapa kembali ke tempatnya semula pergi. Kupandangi punggungnya, terutama pundak tirusnya. Juga Converse tua dan Vespa toska. Dia berwarna. Ah benar, dia pelangi.
Tapi, persis seperti pelangi, dia tak lagi indah tanpa hujan.
Rasaku kemudian pergi. Secepat itu. Secepat hujan meluruhkan kenangan.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar