Bisakah kamu mencium wanginya? Tidakkah bunga itu segar, Sayang? Tapi,
tak terjangkau. Aku hanya bisa menatap sembari membayangkan aromanya.
Kenapa kamu, sekali saja, tidak terpikir memberikannya padaku? Tidakkah
kamu pernah memikirkan untuk menghadiahkannya padaku? Oh, alasan itu.
Aku tidak suka pria romantis. Hei, aku wanita, Sayang. Aku dilahirkan
dan ditakdirkan untuk menyukai hal-hal sederhana yang manis, termasuk
rangkaian bunga. Aku bisa kok, membelinya sendiri. Tapi menerimanya dari
tanganmu, merasakan bekas genggaman hangat di pegangannya, lalu
menyesap baunya di hadapanmu. Tidakkah kamu pernah membayangkan seperti
apa rona bahagiaku? Tidakkah kamu bahagia melihatku dibahagiakan olehmu?
Beri aku seikat bunga cantik itu. Sesekali saja. Kalau tidak, kupaksa
kamu melihat taman bunga di halaman belakang rumah kita nanti. Ah,
"rumah kita nanti". Frase yang jejaknya sejelas tapak-tapak kaki di
bibir pantai. Yang juga mudah menghilang termakan ombak.
Jadi, jangan berhenti, Sayang. Kita harus terus melangkah. Menghentikan
ombak menghapus langkah, jelas mustahil. Untuk itulah kita harus terus
menciptakan langkah baru. Kalau kamu lelah, aku akan melangkah untukmu,
pun sebaliknya. Kalau kita berdua sama-sama lelah, kuminta Tuhan
mengganti kaki-kaki ini dengan yang lebih baik agar lebih bisa
mengimbangi langkahmu, pun sebaliknya.
Tapi sebelum melangkah, jangan lupa seikat bunga mawar itu.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar