Hahaha. Halo, Ibuk.
Harus dimulai darimana surat ucapan ini kalau bukan tawa karena beberapa
menit yang lalu kita masih menertawakan hal nggak penting. Satu hal
yang masih jadi hobi bersama, cekikikan pada hal-hal tolol yang hanya
dimengerti berdua. Dan saat surat ini diketik dalam remang kamar, Ibuk
sedang mendengarkan radio dari ponsel. Aku sedang ditenggelamkan laptop
dan playlist yang menggelegar di telinga. Mana Ibuk tahu aku sedang
menulis surat ini.
Akhirnya 2 OKTOBER! Omong-omong, sudah 42 tahun ya. Aku nggak akan
menanyakan apa rasanya sudah berumur 42 tahun sejauh ini seperti yang
kutanyakan pada Ayah. Ibuk pintar berfilosofi tapi malas basa-basi. Aku
tak akan menemukan jawaban pasti, itu sudah pasti. Satu yang kutahu,
satu persatu cita-citamu sudah terpenuhi. Nafas dan langkahmu mulai
melega, makin ringan terasa. Aku tahu. Bahagia rasanya. Jadi sulung dari
empat bersaudara membuat otak berpikir lebih keras, yang mungkin tidak
memberi pengaruh, tapi cukup membuatku tahu bahwa-seperti yang kukatakan
pada Ayah-bahwa hidup memang keras. Ragu-ragu melangkah maka kau akan
terlindas.
Banyak sekali pelajaran selama ini. Suara Ibuk yang rendah dan halus,
yang terkenal seantero teman-teman, tak bosan-bosan memberi nasihat.
Entah bagaimana caranya, Ibuk yang kemayu dan lemah lembut bisa punya
anak perempuan yang serampangan dan keras kepala. Sifat-sifat khas
wanita yang mestinya diturunkan ke satu-satunya anak perempuan, malah
seperti menguap begitu saja. Entah kemana. Tinggal aku si sulung yang
minim naluri keibuan berdiri dengan kepala sekeras batu kuarsa. Tapi
hei, aku dapat satu ciri khasmu, Buk. Aku anak rumahan. Mungkin karena
terlahir sebagai introvert alami, aku jadi betah di rumah dan cinta
kamar. Sangat cinta kamar sampai saat stres bukannya jalan-jalan, aku
lebih senang berdiam diri di kamarku sendiri, dengan segala tetek
bengeknya sampai keadaan membaik. Di masa-masa tersulitpun, aku ingat
hanya ada Ibuk dan kamar. Ibuk yang menghibur dan aku yang nggak
beranjak dari kamar. Ah, aku sudah melewatinya. Aku sudah hidup. Lagi.
Karna Ibuk, kan?
Sebagai satu-satunya wanita di rumah, hanya Ibuk yang kupunya untuk
berbagi cerita. Banyak prinsip yang kuamini dalam hati, banyak yang
sudah terbukti. Salah satu yang paling kusuka: pada akhirnya kita hanya
akan bergantung pada diri sendiri. Kalau bisa kuteriakkan ke langit,
maka kalimat itu akan kumuntahkan selega-leganya suara. Ibuk benar.
Tidak ada yang benar-benar akan menopang selain Tuhan dan diri sendiri.
Pada akhirnya, teman terbaik adalah diri sendiri. Pada akhirnya, musuh
terbaik adalah diri sendiri. Hanya ada aku dan diri sendiri. Aku tahu.
Sudah kuyakini dalam hati sejak bertahun-tahun yang lalu. Dan aku tahu
itu benar. Terima kasih sudah menanamkan hal sehakiki itu, Buk.
Ah, akhirnya kita sampai pada bagian terima kasih. Cih. Bagian yang
klisenya setengah mati. Mudah bagiku sekadar menulis terima kasih
blablabla kemudian surat ini selesai. Padahal kenyataannya, kapan aku
pernah begitu mudah mengangsurkan terima kasih. Dan, maaf. Satu kata itu
bahkan lebih parah posisinya ketimbang terima kasih. Sesukaku saja
menuliskan terima kasih dan maaf. Kenyataannya, ah, titik dua garis
lurus untuk nyaliku. Hahaha. Aku akan memberitahumu kalau surat ini ada
di blog, jadi nanti Ibuk bisa diam-diam membacanya seperti yang
dilakukan Ayah kemarin. Dan tinggal aku terjebak dalam sipu.
Ibuk, terima kasih. Atas semuanya. Atas nyawa, hidup, dan usia. Atas
pengorbanan yang pasti tak akan terbayar hingga akhir dunia, atas sakit
hati yang selalu dibungkus tawa, atas dosa-dosa yang langsung termaafkan
bahkan sebelum sempat dilupakan. Atas semua waktu yang semoga tak
tersia-sia, atas semua darah dan air mata yang tak terhingga. Tak lagi
terukur harga. Semoga Ibuk selalu bahagia. Aku yakin, Ibuk salah satu
kesayangan Tuhan. Amin.
Tuhan, terima kasih sudah menciptakan beliau. Terima kasih.
Ibuk, selamat hari lahir.
ayuk sayang ibuk. Selalu, selamanya.
LOVE YOU SO MUCH !!
Tidak ada komentar :
Posting Komentar