Tuhan,
ini agak berlebihan. Tapi sungguh, gambar itu benar-benar hebat.
Pemandangan hebat, tempat santai yang hebat, dan suasana yang hebat.
Walaupun mungkin aku lebih suka menyendiri dengan buku dan kopi, rasanya
tertidur di rumah pohon mapel merah itu bisa menenangkan. Sesuai dengan
psikologi warna, merah mampu memberi semangat.
Menatap mapel merah yang rapat itu mungkin bisa mengirim semangat yang membanjiri darah.
Halo,
Darnell Lamont. Satu-satunya peserta rapat yang mengajukan pertanyaan
padaku, mengangkat tangannya, meminta penjelasan tentang parket kayu.
Pria agen real estate sibuk New York, yang selalu bisa tampil luar biasa
meski hanya dengan kaos dan jeans. Pria yang membuat berjalan di
pinggir jalan melebur bersama manusia lain terasa seperti pencerahan
diri. Pria yang memotretku di balik semburat kuning kemerahan musim
gugur dan mengatakan sesuatu tentang betapa cantiknya aku. Pria yang
mentraktirku gulali dan merasa senang melihatku memasukkan segumpal
besar permen kapas itu, dan bilang kalau aku wanita hebat seperti yang
ia duga. Pria yang menjabarkan musim dingin dengan wajah seperti anak
kecil, seseorang yang akan selalu dipeluk oleh hangat musim semi. Pria
yang memberiku daun mapel merah di jalan-jalan pertama kami.
Halo,
Darnell Lamont. Satu-satunya yang akhirnya bisa menggantikan gambar
cangkir kopi yang mengerak di masa laluku dengan daun mapel merahnya
yang layu. Pria yang bicaranya perlahan dan apa adanya. Pria yang
kupikir ia-lah satu-satunya.
Halo,
Darnell Lamont. Satu-satunya yang sepertinya paling tak bisa
kulepaskan, tapi ternyata paling bisa kusakiti. Aku kecewa kau bukan
yang satu-satunya, tapi bahagia karena setidaknya kita pernah saling
jadi yang satu-satunya.
(Cuplikan novel Hazel Nuts)
P.S.
Karena kebetulan lagi nulis novel yang mengambil seting di Ontario
Kanada, aku jadi suka pohon mapel merah. Tambah suka, tepatnya. Selain
karena suka warna merah, bentuk daun mapel memang keren.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar