Selasa, 27 Desember 2011

Hair Spray

"Hai, aku Josh Groban. Salam kenal!"

"Aku KyuHyun. Salam kenal juga ya!"
 
"Aku Hugh Jackman. Kalian pasti kenal aku, kan? Aku si X-Men." 
 
"Yaelah songong banget. Nih, aku asistennya Sherlock Holmes!" 
 
"Asisten kok bangga. Cih, aku sih selalu jadi pemeran utama."
 
"Pada ribut lagi. Kutiup nih ubun-ubun kalian!"
 
"Udah jangan berantem. Cobain nih hair spray bagus biar rambutnya kayak aku."
 
"Pesen selusin ya." 
 
"Aku juga ya. Rambut aku susah diatur nih!"
 
"Pesen juga gak ya? Rambut aku kan kayak ijuk."
 
"Aduh gila, norak banget orang-orang jaman sekarang."
 
"Om, aku pesen juga ya..." 

"Kyu, aku juga mau ya."
 
  
"Yang punya blog lebih gak waras lagi..." 

Hair Spray

"Hai, aku Josh Groban. Salam kenal!"

"Aku KyuHyun. Salam kenal juga ya!"
 
"Aku Hugh Jackman. Kalian pasti kenal aku, kan? Aku si X-Men." 
 
"Yaelah songong banget. Nih, aku asistennya Sherlock Holmes!" 
 
"Asisten kok bangga. Cih, aku sih selalu jadi pemeran utama."
 
"Pada ribut lagi. Kutiup nih ubun-ubun kalian!"
 
"Udah jangan berantem. Cobain nih hair spray bagus biar rambutnya kayak aku."
 
"Pesen selusin ya." 
 
"Aku juga ya. Rambut aku susah diatur nih!"
 
"Pesen juga gak ya? Rambut aku kan kayak ijuk."
 
"Aduh gila, norak banget orang-orang jaman sekarang."
 
"Om, aku pesen juga ya..." 

"Kyu, aku juga mau ya."
 
  
"Yang punya blog lebih gak waras lagi..." 

My best friend

Walau sebulan yang lalu kita sedikit bertengkar, Tapi kini kita tertawa, saling dekap
Ayo kita berjanji~ You are my best friend
Walau masalahmu sepele, jangan kau simpan sendiriayo ceritakanlah, ayo janji sekali lagi. :D

Saat kau tertawa akupun bahagia ( Sungguh )
Saat kau bersedih kedua matakupun basah
Satu-satunya di dunia ini hanya kau My Friend, kegembiraanku, jiwaku dan semangatku
 Akan kujaga sesuatu yang berharga itu selamanya, aku bersumpah

Aku mencintaimu dan menyayangimu teman.

Kapanpun aku akan ada di sampingmu Memberi semangat, dan akan jadi temanmu sepanjang hidup
Jika menemukan Film bagus, Lagu bagus, Cowok baik
harus beri tahu ~ kita janji bersama ( Nononono) Jangan pelit, saling berbagi makanan..
Jari berkait~ kita berjanji.. :D

Saat kau tak ada aku sangat kesepian (Sungguh)
Saat kau sakit aku tak bisa tidur karena khawatir
Saat saling bergandengan tangan dan saling percaya aku tak takut pada apapun juga.
Walau kata 'Persahabatan' terdengar canggung, sepertinya itu diciptakan untuk kita

Kau adalah hadiah di hidupku My friend, Permataku dan keajaiban bagiku
Aku akan terus menjaganya, Aku bersumpah sekali lagi aku menyayangimu teman
Kita sering membuat julukan dan bercanda, terkadang tukaran hadiah
Nomor teleponku di tombol speed dialmu

Dan

Jadi teman sepanjang hidup, selamanya kau temanku, satu-satunya temanku

My best friend

Walau sebulan yang lalu kita sedikit bertengkar, Tapi kini kita tertawa, saling dekap
Ayo kita berjanji~ You are my best friend
Walau masalahmu sepele, jangan kau simpan sendiriayo ceritakanlah, ayo janji sekali lagi. :D

Saat kau tertawa akupun bahagia ( Sungguh )
Saat kau bersedih kedua matakupun basah
Satu-satunya di dunia ini hanya kau My Friend, kegembiraanku, jiwaku dan semangatku
 Akan kujaga sesuatu yang berharga itu selamanya, aku bersumpah

Aku mencintaimu dan menyayangimu teman.

Kapanpun aku akan ada di sampingmu Memberi semangat, dan akan jadi temanmu sepanjang hidup
Jika menemukan Film bagus, Lagu bagus, Cowok baik
harus beri tahu ~ kita janji bersama ( Nononono) Jangan pelit, saling berbagi makanan..
Jari berkait~ kita berjanji.. :D

Saat kau tak ada aku sangat kesepian (Sungguh)
Saat kau sakit aku tak bisa tidur karena khawatir
Saat saling bergandengan tangan dan saling percaya aku tak takut pada apapun juga.
Walau kata 'Persahabatan' terdengar canggung, sepertinya itu diciptakan untuk kita

Kau adalah hadiah di hidupku My friend, Permataku dan keajaiban bagiku
Aku akan terus menjaganya, Aku bersumpah sekali lagi aku menyayangimu teman
Kita sering membuat julukan dan bercanda, terkadang tukaran hadiah
Nomor teleponku di tombol speed dialmu

Dan

Jadi teman sepanjang hidup, selamanya kau temanku, satu-satunya temanku

AKU BEBAS

 
Aku tak pernah jatuh sesakit ini
Kalau ini yang namanya cinta, kenapa begitu menyesakkan?
Aku tak pernah menangis sehebat ini
Kalau ini yang namanya cinta, kenapa harus menyakitkan?
Aku tak pernah setakut ini
Kalau ini yang namanya cinta, kenapa mesti kehilangan?
Aku tak pernah sebodoh ini
Kalau ini yang namanya cinta, kenapa membuat akal lumpuh?

Ya, ini memang cinta
Perasaan yang mengikat darah begitu kuat
Perasaan yang mendekap hati begitu erat
Perasaan yang menjatuhkan dengan dahsyat
Ya, ini memang cinta
Yang dipeluk, didekap, digenggam
Yang dibuang, diabaikan, diterbangkan
Yang indah, manis, sekaligus perih

Terjatuh, remuk, terpuruk
Terdiam, terenyuh, terseok
Tertawa, tersenyum, tersipu

Ini cerita antara aku, kau, dan Tuhan
Kalau kau pergi dan mengabaikan,
Tuhan ada untuk menyelesaikan
Biar sakit jadi sakit, bahagia tetap bahagia
Kalau cinta mengikat, aku tak ingin terikat
Kalau cinta membebaskan, aku ingin merdeka

Erat dan tak lepas
Cinta merdeka yang luas
Tuhan bilang, aku bebas

AKU BEBAS

 
Aku tak pernah jatuh sesakit ini
Kalau ini yang namanya cinta, kenapa begitu menyesakkan?
Aku tak pernah menangis sehebat ini
Kalau ini yang namanya cinta, kenapa harus menyakitkan?
Aku tak pernah setakut ini
Kalau ini yang namanya cinta, kenapa mesti kehilangan?
Aku tak pernah sebodoh ini
Kalau ini yang namanya cinta, kenapa membuat akal lumpuh?

Ya, ini memang cinta
Perasaan yang mengikat darah begitu kuat
Perasaan yang mendekap hati begitu erat
Perasaan yang menjatuhkan dengan dahsyat
Ya, ini memang cinta
Yang dipeluk, didekap, digenggam
Yang dibuang, diabaikan, diterbangkan
Yang indah, manis, sekaligus perih

Terjatuh, remuk, terpuruk
Terdiam, terenyuh, terseok
Tertawa, tersenyum, tersipu

Ini cerita antara aku, kau, dan Tuhan
Kalau kau pergi dan mengabaikan,
Tuhan ada untuk menyelesaikan
Biar sakit jadi sakit, bahagia tetap bahagia
Kalau cinta mengikat, aku tak ingin terikat
Kalau cinta membebaskan, aku ingin merdeka

Erat dan tak lepas
Cinta merdeka yang luas
Tuhan bilang, aku bebas

Lagi Butuh Mommy

Suatu hari, aku hadir di acara kelas anak sulungku yang kini duduk di kelas 6 SD. Zach, anakku seorang ketua kelas yang terampil dan lincah hingga gerak-geriknya selalu jadi perhatian. Semua orang ingin punya anak sepertinya. Tapi aku, ibunya sendiri malah duduk dan mengikuti acara dengan enggan. Aku harus bolos kerja demi ini.
        Acara dimulai dengan melukis bersama. Zach menggambarkan kepalaku seperti kentang busuk yang penyok sana sini, tapi bagian terindah adalah bibirku yang dibuat sedang tersenyum lebar dengan tinta merah tebal. Selanjutnya para orangtua disuruh melompat karung menuju ke arah anaknya di seberang. Saat anak-anak lain berteriak menyuruh ibunya melompat lebih cepat, kudengar Zach berteriak, “Nggak apa-apa, Mommy. Jangan buru-buru, nanti badanmu luka!”
        Acara terakhir sesi yang paling tenang dan dilakukan di dalam aula. Ada banyak barisan bunga dalam pot-pot kecil. Bunga berbagai jenis yang rata-rata mekar penuh dan menyembulkan semburat warna warni. Kami diberitahu kalau bunga-bunga itu nantinya akan dipilihkan oleh anak masing-masing dan diberikan pada ibunya. Aku melirik Zach, memberi kode dengan yakin bahwa anakku pasti akan memberikan bunga terindah untuk ibunya. Zach membalas tatapanku sambil tersenyum kecil.
        Satu persatu anak maju dan memilih bunga dalam pot kemudian berjalan menuju ibu mereka. Kulihat tetanggaku, Carol mendapat bunga mawar besar yang cantik dari Scarlet putrinya. Orang di depanku tertawa mendapatkan bunga matahari di dalam pot tinggi yang susah payah di bawakan anak laki-lakinya. Anakku Zach, yang memang absen terakhir mendapat giliran paling akhir. Di meja besar tinggal tersisa 5 pot, yang rata-rata bunganya tak terlalu cantik. Semua bagus dan terlihat sama. Kecuali satu pot kecil di ujung, yang bahkan daunnya hampir rontok semua.
        Zach berjalan dengan mantap, dibarengi dengan tatapan mengikuti dari seluruh orangtua yang anaknya telah selesai melaksanakan tugas. Kami bersama-sama melihat Zach berdiri dengan tegap, memegangi dagunya dan terlihat berpikir keras. Akhirnya, dia selesai, mengangguk, kemudian membawa sebuah pot ke arahku. Seisi aula, terutama aku terkejut bukan main.
        Pot dengan bunga terjelek yang letaknya paling ujung.
        Anakku, yang notabene adalah anak paling pintar di kelas dengan bangga dan tersenyum lebar membawakanku bunga paling tak menarik sedunia. Sementara Zach meneteng bunga dan menuju ke arahku, kurasakan wajahku memerah malu. Apa yang sedang dilakukan anakku? Kenapa dia memilih bunga jelek dan kering itu untuk ibunya sementara teman-temannya berlomba memilih yang terbaik?
        Aku hanya diam saat Zach mengangsurkan pot kecil itu padaku.
        “Untukmu,” katanya girang.
        “Kenapa bunga kering yang hampir mati begini?” aku berusaha menekan suara, malu, dan keherananku. Kutatap Zach yang matanya malah berbinar.
        Zach melebarkan senyumnya lagi, membuatku terperangah. “Karena bunga ini lebih butuh Mommy. Dia yang paling butuh kasih sayang Mommy.”
        Air mata yang tak kurencanakan jatuh, tumpah begitu saja dan mengaburkan pandanganku untuk melihat anak sulungku yang hatinya luas ini. Aku tak menyangka dia berpikir sejauh itu. Betapa dia berpikir kalau bunga yang nyaris tak bisa bertahan ini butuh aku.
        “Mommy, jangan menangis,” kudengar Zach berkata saat aku memeluknya.
        Terima kasih, Tuhan. Terima kasih.

Lagi Butuh Mommy

Suatu hari, aku hadir di acara kelas anak sulungku yang kini duduk di kelas 6 SD. Zach, anakku seorang ketua kelas yang terampil dan lincah hingga gerak-geriknya selalu jadi perhatian. Semua orang ingin punya anak sepertinya. Tapi aku, ibunya sendiri malah duduk dan mengikuti acara dengan enggan. Aku harus bolos kerja demi ini.
        Acara dimulai dengan melukis bersama. Zach menggambarkan kepalaku seperti kentang busuk yang penyok sana sini, tapi bagian terindah adalah bibirku yang dibuat sedang tersenyum lebar dengan tinta merah tebal. Selanjutnya para orangtua disuruh melompat karung menuju ke arah anaknya di seberang. Saat anak-anak lain berteriak menyuruh ibunya melompat lebih cepat, kudengar Zach berteriak, “Nggak apa-apa, Mommy. Jangan buru-buru, nanti badanmu luka!”
        Acara terakhir sesi yang paling tenang dan dilakukan di dalam aula. Ada banyak barisan bunga dalam pot-pot kecil. Bunga berbagai jenis yang rata-rata mekar penuh dan menyembulkan semburat warna warni. Kami diberitahu kalau bunga-bunga itu nantinya akan dipilihkan oleh anak masing-masing dan diberikan pada ibunya. Aku melirik Zach, memberi kode dengan yakin bahwa anakku pasti akan memberikan bunga terindah untuk ibunya. Zach membalas tatapanku sambil tersenyum kecil.
        Satu persatu anak maju dan memilih bunga dalam pot kemudian berjalan menuju ibu mereka. Kulihat tetanggaku, Carol mendapat bunga mawar besar yang cantik dari Scarlet putrinya. Orang di depanku tertawa mendapatkan bunga matahari di dalam pot tinggi yang susah payah di bawakan anak laki-lakinya. Anakku Zach, yang memang absen terakhir mendapat giliran paling akhir. Di meja besar tinggal tersisa 5 pot, yang rata-rata bunganya tak terlalu cantik. Semua bagus dan terlihat sama. Kecuali satu pot kecil di ujung, yang bahkan daunnya hampir rontok semua.
        Zach berjalan dengan mantap, dibarengi dengan tatapan mengikuti dari seluruh orangtua yang anaknya telah selesai melaksanakan tugas. Kami bersama-sama melihat Zach berdiri dengan tegap, memegangi dagunya dan terlihat berpikir keras. Akhirnya, dia selesai, mengangguk, kemudian membawa sebuah pot ke arahku. Seisi aula, terutama aku terkejut bukan main.
        Pot dengan bunga terjelek yang letaknya paling ujung.
        Anakku, yang notabene adalah anak paling pintar di kelas dengan bangga dan tersenyum lebar membawakanku bunga paling tak menarik sedunia. Sementara Zach meneteng bunga dan menuju ke arahku, kurasakan wajahku memerah malu. Apa yang sedang dilakukan anakku? Kenapa dia memilih bunga jelek dan kering itu untuk ibunya sementara teman-temannya berlomba memilih yang terbaik?
        Aku hanya diam saat Zach mengangsurkan pot kecil itu padaku.
        “Untukmu,” katanya girang.
        “Kenapa bunga kering yang hampir mati begini?” aku berusaha menekan suara, malu, dan keherananku. Kutatap Zach yang matanya malah berbinar.
        Zach melebarkan senyumnya lagi, membuatku terperangah. “Karena bunga ini lebih butuh Mommy. Dia yang paling butuh kasih sayang Mommy.”
        Air mata yang tak kurencanakan jatuh, tumpah begitu saja dan mengaburkan pandanganku untuk melihat anak sulungku yang hatinya luas ini. Aku tak menyangka dia berpikir sejauh itu. Betapa dia berpikir kalau bunga yang nyaris tak bisa bertahan ini butuh aku.
        “Mommy, jangan menangis,” kudengar Zach berkata saat aku memeluknya.
        Terima kasih, Tuhan. Terima kasih.

Kita Memecah Udara

Hujan deras. Wajah Moly mulai berkerut, hidungnya mengerucut sebal. Tangannya berlipat di depan dada, menatap Rendra yang pasrah pada amukannya. Ini hari yang sudah mereka tunggu-tunggu, hari Minggu kosong yang ternyata muram. Moly yang sudah berdandan habis-habisan menghentakkan kaki dengan kuat ke lantai. Rendra berusaha meraih tangan mulusnya, tapi Momo berderap pergi dan mengunci diri di kamar.
            “Mo, kita pergi minggu depan, ya?” bujuk Rendra.
            “Tinggalkan aku sendiri!” teriak Moly.
            Rendra mundur perlahan, melesak ke sofa di ruang tengah. Hujan terlihat tak mau berhenti. Jendela kaca besar yang membatasi ruang tengah dan halaman belakang bergetar, butiran hujan yang terbawa angin menjatuhi kaca dengan berisik. Tiba-tiba suara geledek besar menggelegar. Moly berteriak dari dalam kamar dan langsung melompat ke dalam pelukan Rendra. Bahunya bergetar.
            “Oke, aku memelukmu karena takut. Ini bukan berarti kita baikan,” gumam Moly sebal dari balik dada Rendra. Yang dipeluk hanya mengangkat bahu sambil menahan tawa.
            “Aku tahu kau tertawa,” celetuk Moly.
            “Nggak. Kenapa juga harus tertawa?”
            Tak lama, Moly tertidur dalam pelukan Rendra. Di ujung mata Moly, Rendra melihat titik air mata. Air mata yang sudah sangat dikenalnya. Rendra mengecup pipi Moly, mendekapnya lebih erat, dan ikut tidur.
            “Sudah terang! Sudah terang!”
            Rendra mengerjap saat Moly menarik-narik kaosnya dengan girang. Benar saja. Cuaca diluar sudah terang dan hangat, titik air hujan menggantung di dedaunan. Rendra tersenyum. Ia tahu tak mungkin hari khusus ini batal hanya karena hujan. Ia tahu tak mungkin hari spesial ini urung terjadi.
           Ia tahu Tuhan tak mungkin tega.
           Mobil segera melaju di jalanan yang licin, Moly tersenyum di sepanjang perjalanan. Rendra lega. Ia paling tak bisa melihat Moly menangis.
          “Toko bunga! Aku mau beli bunga!” kata Moly.
          Rendra menepi ke sebuah toko bunga kecil dan Moly langsung memilih dengan serius. Rendra mengawasi sambil melihat-lihat. Matanya terpaku pada sebatang lily putih cantik. Dadanya berdenyut menyakitkan.
          “Aku mau lily ini,” Moly menyodorkan sebuket lily putih kepada pelayan. Moly dan Rendra kembali menembus jalan yang sepi. Aroma lily menyeruak di dalam mobil.
          Mereka sampai di sebuah padang ilalang yang dipenuhi oleh bunga-bunga liar. Moly berlari meninggalkan Rendra, menghilang di balik ilalang yang tinggi. Rendra melihat Moly tersenyum, berdiri di depan sebuah makam, menyodorkan sebuket lily. “Mommy, selamat ulang tahun!”
          Rendra tersenyum. “Cleo, selamat ulang tahun,”
          Angin lembut bertiup, membelai nisan dan rambut Moly yang beterbangan. “Aku dan Daddy bertengkar gara-gara hujan.”
          “Bukan bertengkar Cle, anakmu yang marah padaku,” ralat Rendra.
          “Tapi Daddy memang membuatku kesal,” protes Moly.
          “Iya, iya. Daddy memang menyebalkan.”
          Moly memeluk nisan ibunya dengan erat. “Aku bahagia lho, Mommy. Daddy bahagia. Kami bahagia. Kau juga harus bahagia disana.”
          Rendra mengelus nisan, membayangkan kepala dan rambut ikal hitam istrinya. “Aku dan Moly baik-baik saja. Kami bisa melewati apapun, kau tahu. Bahkan setiap hari ada saja yang kami tertawakan.”
          “Itu benar,” sahut Moly bersemangat. “Kau tahu, Mommy? Aku bahkan ikut kelas menari! Aku dan Daddy sering menari di halaman belakang dengan banyak lilin romantis.”
          “Yah, setelah itu anakmu ini sering minta gendong,” timpal Rendra.
          “Lalu Mom, aku mulai menanam bunga-bunga favoritmu dulu. Di belakang rumah, kau pasti bisa lihat dari sana, bunga sudah mulai bermekaran dan banyak kupu-kupu yang datang.”
          “Dia sedang jatuh cinta, Cle,”
          “Nggak. Aku nggak sedang jatuh cinta kok,” wajah Moly memerah. “Daddy, berhenti menggodaku. Mom, lihat pria ini! Kenapa sih kau mau menikah dengannya?”
          Rendra tertawa. “Kalau kami nggak menikah, kau nggak akan ada disini, Nona Kecil!”
          Moly berdiri kemudian memeragakan gerakan tarinya. “Lihat Mom, angkat kaki kanan, berputar, kemudian melompat ke segala arah sesuai irama yang kau dengar. Satu, dua, satu, dua…”
          Rendra terbahak. “Pantatmu terlalu berat.”
          “Coba saja kalau kau bisa!” tantang Moly.
          Rendra menggulung lengan kemejanya dengan cepat dan memeragakan geakan Moly dengan kikuk. Moly tertawa geli sampai perutnya sakit. Ia belum pernah melihat ayahnya bertingkah sebodoh itu.
          “Ajak Mommy menari,” kata Rendra.
          Moly mengangguk. Tangan kecilnya langsung memegang nisan Cleo, satu tangannya bebas bergerak meliuk-liuk. Rendra melakukan hal yang sama. Mereka melompat-lompat, serbuk bunga yang halus beterbangan di sekitar mereka.
          Rendra menarik nafas dalam.
          Tuhan, sungguh aku bahagia. Aku menari, melepaskan semua beban. Aku pernah bilang ingin terus bisa menggenggam tangan dan menari bersama Cleo, aku ingin kami selalu bisa memecah udara dengan perasaan bahagia. Aku memang tak sedang menari bersama Cleo, tapi aku bersama pecahan dirinya. Ini sudah sangat membahagiakan. Tuhan, terima kasih.
          “Daddy, nyanyikan lagu kenanganmu bersama Mommy!” kata Moly disela tawa dan tariannya yang aneh.
          Rendra mengangguk sambil tersenyum lebar.
         “Oh lihat kita bertaburan bunga-bunga, kupu-kupu saling menyapa, mengajak kita terbang bersama kesana, menari di atas sana, melantunkan lagu cinta, menari-nari asmara…”

Kita Memecah Udara

Hujan deras. Wajah Moly mulai berkerut, hidungnya mengerucut sebal. Tangannya berlipat di depan dada, menatap Rendra yang pasrah pada amukannya. Ini hari yang sudah mereka tunggu-tunggu, hari Minggu kosong yang ternyata muram. Moly yang sudah berdandan habis-habisan menghentakkan kaki dengan kuat ke lantai. Rendra berusaha meraih tangan mulusnya, tapi Momo berderap pergi dan mengunci diri di kamar.
            “Mo, kita pergi minggu depan, ya?” bujuk Rendra.
            “Tinggalkan aku sendiri!” teriak Moly.
            Rendra mundur perlahan, melesak ke sofa di ruang tengah. Hujan terlihat tak mau berhenti. Jendela kaca besar yang membatasi ruang tengah dan halaman belakang bergetar, butiran hujan yang terbawa angin menjatuhi kaca dengan berisik. Tiba-tiba suara geledek besar menggelegar. Moly berteriak dari dalam kamar dan langsung melompat ke dalam pelukan Rendra. Bahunya bergetar.
            “Oke, aku memelukmu karena takut. Ini bukan berarti kita baikan,” gumam Moly sebal dari balik dada Rendra. Yang dipeluk hanya mengangkat bahu sambil menahan tawa.
            “Aku tahu kau tertawa,” celetuk Moly.
            “Nggak. Kenapa juga harus tertawa?”
            Tak lama, Moly tertidur dalam pelukan Rendra. Di ujung mata Moly, Rendra melihat titik air mata. Air mata yang sudah sangat dikenalnya. Rendra mengecup pipi Moly, mendekapnya lebih erat, dan ikut tidur.
            “Sudah terang! Sudah terang!”
            Rendra mengerjap saat Moly menarik-narik kaosnya dengan girang. Benar saja. Cuaca diluar sudah terang dan hangat, titik air hujan menggantung di dedaunan. Rendra tersenyum. Ia tahu tak mungkin hari khusus ini batal hanya karena hujan. Ia tahu tak mungkin hari spesial ini urung terjadi.
           Ia tahu Tuhan tak mungkin tega.
           Mobil segera melaju di jalanan yang licin, Moly tersenyum di sepanjang perjalanan. Rendra lega. Ia paling tak bisa melihat Moly menangis.
          “Toko bunga! Aku mau beli bunga!” kata Moly.
          Rendra menepi ke sebuah toko bunga kecil dan Moly langsung memilih dengan serius. Rendra mengawasi sambil melihat-lihat. Matanya terpaku pada sebatang lily putih cantik. Dadanya berdenyut menyakitkan.
          “Aku mau lily ini,” Moly menyodorkan sebuket lily putih kepada pelayan. Moly dan Rendra kembali menembus jalan yang sepi. Aroma lily menyeruak di dalam mobil.
          Mereka sampai di sebuah padang ilalang yang dipenuhi oleh bunga-bunga liar. Moly berlari meninggalkan Rendra, menghilang di balik ilalang yang tinggi. Rendra melihat Moly tersenyum, berdiri di depan sebuah makam, menyodorkan sebuket lily. “Mommy, selamat ulang tahun!”
          Rendra tersenyum. “Cleo, selamat ulang tahun,”
          Angin lembut bertiup, membelai nisan dan rambut Moly yang beterbangan. “Aku dan Daddy bertengkar gara-gara hujan.”
          “Bukan bertengkar Cle, anakmu yang marah padaku,” ralat Rendra.
          “Tapi Daddy memang membuatku kesal,” protes Moly.
          “Iya, iya. Daddy memang menyebalkan.”
          Moly memeluk nisan ibunya dengan erat. “Aku bahagia lho, Mommy. Daddy bahagia. Kami bahagia. Kau juga harus bahagia disana.”
          Rendra mengelus nisan, membayangkan kepala dan rambut ikal hitam istrinya. “Aku dan Moly baik-baik saja. Kami bisa melewati apapun, kau tahu. Bahkan setiap hari ada saja yang kami tertawakan.”
          “Itu benar,” sahut Moly bersemangat. “Kau tahu, Mommy? Aku bahkan ikut kelas menari! Aku dan Daddy sering menari di halaman belakang dengan banyak lilin romantis.”
          “Yah, setelah itu anakmu ini sering minta gendong,” timpal Rendra.
          “Lalu Mom, aku mulai menanam bunga-bunga favoritmu dulu. Di belakang rumah, kau pasti bisa lihat dari sana, bunga sudah mulai bermekaran dan banyak kupu-kupu yang datang.”
          “Dia sedang jatuh cinta, Cle,”
          “Nggak. Aku nggak sedang jatuh cinta kok,” wajah Moly memerah. “Daddy, berhenti menggodaku. Mom, lihat pria ini! Kenapa sih kau mau menikah dengannya?”
          Rendra tertawa. “Kalau kami nggak menikah, kau nggak akan ada disini, Nona Kecil!”
          Moly berdiri kemudian memeragakan gerakan tarinya. “Lihat Mom, angkat kaki kanan, berputar, kemudian melompat ke segala arah sesuai irama yang kau dengar. Satu, dua, satu, dua…”
          Rendra terbahak. “Pantatmu terlalu berat.”
          “Coba saja kalau kau bisa!” tantang Moly.
          Rendra menggulung lengan kemejanya dengan cepat dan memeragakan geakan Moly dengan kikuk. Moly tertawa geli sampai perutnya sakit. Ia belum pernah melihat ayahnya bertingkah sebodoh itu.
          “Ajak Mommy menari,” kata Rendra.
          Moly mengangguk. Tangan kecilnya langsung memegang nisan Cleo, satu tangannya bebas bergerak meliuk-liuk. Rendra melakukan hal yang sama. Mereka melompat-lompat, serbuk bunga yang halus beterbangan di sekitar mereka.
          Rendra menarik nafas dalam.
          Tuhan, sungguh aku bahagia. Aku menari, melepaskan semua beban. Aku pernah bilang ingin terus bisa menggenggam tangan dan menari bersama Cleo, aku ingin kami selalu bisa memecah udara dengan perasaan bahagia. Aku memang tak sedang menari bersama Cleo, tapi aku bersama pecahan dirinya. Ini sudah sangat membahagiakan. Tuhan, terima kasih.
          “Daddy, nyanyikan lagu kenanganmu bersama Mommy!” kata Moly disela tawa dan tariannya yang aneh.
          Rendra mengangguk sambil tersenyum lebar.
         “Oh lihat kita bertaburan bunga-bunga, kupu-kupu saling menyapa, mengajak kita terbang bersama kesana, menari di atas sana, melantunkan lagu cinta, menari-nari asmara…”

Surat Cinta Untuk Sahabat

Hello there, girls!

Ini gila. Aku begitu menggebu-gebu menulis sebuah surat cinta tapi tidak tahu akan dikirim ke siapa. Aku belum punya seseorang yang begitu ingin kukirimkan rangkaian kata manis. Kalaupun ada, nekad bukan nama tengahku. Jadi, tidak ada salahnya kan kalau aku menulis untuk kalian, sahabat-sahabatku?

Aku baru tamat membaca Firefly Lane. Sebuah buku tentang persahabatan, jalinan kekal selama 30 tahun yang penuh suka dan duka. Disana dua sahabat, Tully dan Kate saling menemukan diri mereka terjebak satu sama lain, terikat begitu erat, hingga harus dipisahkan oleh maut. Jujur, saat membeli Firefly Lane, aku sangsi akan menyukai alur ceritanya. Persahabatan memang indah dan luar biasa, tapi mungkin tak akan mampu menggetarkan hati layaknya cerita chicklit yang kusuka. Aku percaya persahabatan memang ada, sahabat memang nyata. Tapi masih juga tak yakin apakah tulisan bisa menggambarkan perasaan sebesar itu. Aku toh punya kalian. Aku tahu rasanya bersahabat.

Dan tahukah kalian? Aku menangis sampai tersedak. Cerita tentang persahabatan setebal 625 halaman itu membuatku sadar, betapa sahabat akan sangat berarti. Sahabat bisa kau gambarkan lewat kata dan ekspresi. Kate meninggal dunia karena kanker, meninggalkan Tully yang sudah 30 tahun bersama. Mereka melalui banyak hal, sama seperti kita. Mereka tertawa hingga perut terasa kencang, menangis bersama tanpa rasa malu, terpuruk oleh masalah. Mereka membagi semua dalam waktu, menumpahkan semua proses menuju dewasa. Sama seperti kita.

Aku tahu, selama hampir 8 tahun ini kita bertiga banyak bertengkar. Saling memaki dalam hati, mendendam tanpa sebab, hampir berpisah perkara pria, bahkan kesal tak berkesudahan karena hal sepele. Kita berkutat dalam masalah masing-masing, sibuk sendiri, dan makin tak punya waktu bersama. Dunia kita semakin berbeda. Ya kan?

Egois namanya kalau aku ingin kalian tetap seperti yang dulu. Tidak. Kalian memang masih sahabat-sahabatku yang dulu. Hanya saja, waktu yang terbang tak terelakan. Kini aku hanya berdoa semoga kita mendadak mendapat waktu yang banyak untuk bersama lagi. Empat jam full di kamar, misalnya? Kita bisa menertawakan apapun hanya dengan satu topik, kan? Kita bahkan bisa menertawakan diri kita sendiri.

Aku bisa saja tiba-tiba datang ke rumah kalian, mengagetkan dengan senyum lebar dan teriakan nyaring yang khas. Tapi, memastikan kalian ada di rumah bukan perkara mudah.

Sahabat itu akan kekal selamanya. Kelak beberapa tahun lagi, saat aku dan kalian siap menikah untuk kemudian memiliki anak, kita masih akan bersahabat. Saat aku dan kalian sakit, tertimpa musibah, atau bahkan dipanggil Sang Pencipta, kita masih akan terus bersahabat. Seperti Tully dan Kate, sahabat selamanya. Seumur hidup.


Salam sayang ,
@ummi salamah alk 

Halo !

Halo, Hatiku!
Sudahkah aku mengingatkanmu untuk terus membersihkan apa yang tersisa? Sudahkah aku mengingatkanmu untuk terus membangun tembok setinggi semesta? Sudahkah aku mengingatkanmu untuk menutup gerbang rapat-rapat?

Halo, Otakku!
Sudahkah aku mengingatkanmu untuk hanya memikirkan yang pantas dan layak dipikirkan? Sudahkah aku mengingatkanmu untuk menggerus tiap ingatan yang memuakkan? Sudahkah aku mengingatkanmu untuk tetap fokus melihat kenyataan?

Halo, Logikaku!
Sudahkah aku mengingatkanmu untuk terus kuat? Sudahkah aku mengingatkanmu untuk terus membisikkan hati semua wejangan hebat? Sudahkah aku mengingatkanmu untuk terus berdampingan dengan hati dan merengkuhnya erat?

Halo, Kau!
Sudahkah aku mengingatkanmu untuk lari dan pergi? Belum? Kalau begitu, pergilah.

Halo !

Halo, Hatiku!
Sudahkah aku mengingatkanmu untuk terus membersihkan apa yang tersisa? Sudahkah aku mengingatkanmu untuk terus membangun tembok setinggi semesta? Sudahkah aku mengingatkanmu untuk menutup gerbang rapat-rapat?

Halo, Otakku!
Sudahkah aku mengingatkanmu untuk hanya memikirkan yang pantas dan layak dipikirkan? Sudahkah aku mengingatkanmu untuk menggerus tiap ingatan yang memuakkan? Sudahkah aku mengingatkanmu untuk tetap fokus melihat kenyataan?

Halo, Logikaku!
Sudahkah aku mengingatkanmu untuk terus kuat? Sudahkah aku mengingatkanmu untuk terus membisikkan hati semua wejangan hebat? Sudahkah aku mengingatkanmu untuk terus berdampingan dengan hati dan merengkuhnya erat?

Halo, Kau!
Sudahkah aku mengingatkanmu untuk lari dan pergi? Belum? Kalau begitu, pergilah.

Surat Cinta Untuk Sahabat

Hello there, girls!

Ini gila. Aku begitu menggebu-gebu menulis sebuah surat cinta tapi tidak tahu akan dikirim ke siapa. Aku belum punya seseorang yang begitu ingin kukirimkan rangkaian kata manis. Kalaupun ada, nekad bukan nama tengahku. Jadi, tidak ada salahnya kan kalau aku menulis untuk kalian, sahabat-sahabatku?

Aku baru tamat membaca Firefly Lane. Sebuah buku tentang persahabatan, jalinan kekal selama 30 tahun yang penuh suka dan duka. Disana dua sahabat, Tully dan Kate saling menemukan diri mereka terjebak satu sama lain, terikat begitu erat, hingga harus dipisahkan oleh maut. Jujur, saat membeli Firefly Lane, aku sangsi akan menyukai alur ceritanya. Persahabatan memang indah dan luar biasa, tapi mungkin tak akan mampu menggetarkan hati layaknya cerita chicklit yang kusuka. Aku percaya persahabatan memang ada, sahabat memang nyata. Tapi masih juga tak yakin apakah tulisan bisa menggambarkan perasaan sebesar itu. Aku toh punya kalian. Aku tahu rasanya bersahabat.

Dan tahukah kalian? Aku menangis sampai tersedak. Cerita tentang persahabatan setebal 625 halaman itu membuatku sadar, betapa sahabat akan sangat berarti. Sahabat bisa kau gambarkan lewat kata dan ekspresi. Kate meninggal dunia karena kanker, meninggalkan Tully yang sudah 30 tahun bersama. Mereka melalui banyak hal, sama seperti kita. Mereka tertawa hingga perut terasa kencang, menangis bersama tanpa rasa malu, terpuruk oleh masalah. Mereka membagi semua dalam waktu, menumpahkan semua proses menuju dewasa. Sama seperti kita.

Aku tahu, selama hampir 8 tahun ini kita bertiga banyak bertengkar. Saling memaki dalam hati, mendendam tanpa sebab, hampir berpisah perkara pria, bahkan kesal tak berkesudahan karena hal sepele. Kita berkutat dalam masalah masing-masing, sibuk sendiri, dan makin tak punya waktu bersama. Dunia kita semakin berbeda. Ya kan?

Egois namanya kalau aku ingin kalian tetap seperti yang dulu. Tidak. Kalian memang masih sahabat-sahabatku yang dulu. Hanya saja, waktu yang terbang tak terelakan. Kini aku hanya berdoa semoga kita mendadak mendapat waktu yang banyak untuk bersama lagi. Empat jam full di kamar, misalnya? Kita bisa menertawakan apapun hanya dengan satu topik, kan? Kita bahkan bisa menertawakan diri kita sendiri.

Aku bisa saja tiba-tiba datang ke rumah kalian, mengagetkan dengan senyum lebar dan teriakan nyaring yang khas. Tapi, memastikan kalian ada di rumah bukan perkara mudah.

Sahabat itu akan kekal selamanya. Kelak beberapa tahun lagi, saat aku dan kalian siap menikah untuk kemudian memiliki anak, kita masih akan bersahabat. Saat aku dan kalian sakit, tertimpa musibah, atau bahkan dipanggil Sang Pencipta, kita masih akan terus bersahabat. Seperti Tully dan Kate, sahabat selamanya. Seumur hidup.


Salam sayang ,
@ummi salamah alk 

Tapi Jari Manismu Hanya Untukku, kan?

Aku: Kau tahu, Jodohku? Aku jatuh pada orang yang salah.
Dia:  Kenapa bisa kau jatuh padanya sementara kau tahu dia salah?
Aku: Saat jatuh cinta kita tak mengenal logika, kan?
Dia:  Itu benar. Tapi kita selalu bebas memilih dan berpikir.
Aku: Aku sudah menyerahkan hampir semua hatiku untuknya. Aku pikir dia akan terus berada di sisiku. Ternyata aku salah.
Dia:  Yang selalu berada di sisimu itu hanya aku.
Aku: Apa kau marah karena aku terlanjur pernah menyerahkan hatiku pada banyak pria selain dirimu?
Dia:  Tentu saja tidak.
Aku: Kenapa?
Dia:  Kau menyerahkan hati dan perasaanmu padanya sebelum bertemu denganku?
Aku: Iya.
Dia:  Tapi jari manismu hanya untukku, kan?
Aku: Kenapa kau ingin jari manisku?
Dia:  Sejauh apapun kau pergi, kau pasti kembali padaku. Sebanyak apapun kau lepas dan menyerahkan hati, kau pasti kembali padaku. Karena aku jodohmu. Karena aku adalah satu-satunya orang yang akan menyematkan cincin di jari manismu.
Aku: Itu hebat!
Dia:  Kelak, kau akan tahu betapa cantiknya jari manismu.
Aku: Mulai sekarang aku akan menjaganya baik-baik.
Dia:  Jangan pernah serahkan jari itu selain padaku, ya?
Aku: Janji!
Dia:  Sampai ketemu di masa depan!
Aku: Kumpulkan uang dan beli cincin cantik ya, Jodohku!

Tapi Jari Manismu Hanya Untukku, kan?

Aku: Kau tahu, Jodohku? Aku jatuh pada orang yang salah.
Dia:  Kenapa bisa kau jatuh padanya sementara kau tahu dia salah?
Aku: Saat jatuh cinta kita tak mengenal logika, kan?
Dia:  Itu benar. Tapi kita selalu bebas memilih dan berpikir.
Aku: Aku sudah menyerahkan hampir semua hatiku untuknya. Aku pikir dia akan terus berada di sisiku. Ternyata aku salah.
Dia:  Yang selalu berada di sisimu itu hanya aku.
Aku: Apa kau marah karena aku terlanjur pernah menyerahkan hatiku pada banyak pria selain dirimu?
Dia:  Tentu saja tidak.
Aku: Kenapa?
Dia:  Kau menyerahkan hati dan perasaanmu padanya sebelum bertemu denganku?
Aku: Iya.
Dia:  Tapi jari manismu hanya untukku, kan?
Aku: Kenapa kau ingin jari manisku?
Dia:  Sejauh apapun kau pergi, kau pasti kembali padaku. Sebanyak apapun kau lepas dan menyerahkan hati, kau pasti kembali padaku. Karena aku jodohmu. Karena aku adalah satu-satunya orang yang akan menyematkan cincin di jari manismu.
Aku: Itu hebat!
Dia:  Kelak, kau akan tahu betapa cantiknya jari manismu.
Aku: Mulai sekarang aku akan menjaganya baik-baik.
Dia:  Jangan pernah serahkan jari itu selain padaku, ya?
Aku: Janji!
Dia:  Sampai ketemu di masa depan!
Aku: Kumpulkan uang dan beli cincin cantik ya, Jodohku!
Aku maju
Terseret-seret
Berdarah-darah
Hanya untuk mengalahkanmu
Hanya untuk memenangkanmu
Dengarkan itu, Waktu.
Aku maju
Terseret-seret
Berdarah-darah
Hanya untuk mengalahkanmu
Hanya untuk memenangkanmu
Dengarkan itu, Waktu.

Sweet Things


  Kalau waktu benar-benar bisa diputar, aku hanya ingin menikmati lebih lama saat-saat pikiran sedang kosong dan hampa. Saat beban bukan lagi sesuatu yang begitu memberatkan, saat tertawa hanya tertawa, dan waktu yang berjalan jauh dari menyesakkan. Aku ingin duduk sendiri di meja merah muda itu, menikmati secangkir kopi panas dan cupcake manis, dan menulis hal-hal sepele yang mungkin kini akan kutertawakan. Saat ini satu-satunya yang pasti bisa membuat tertawa hanya diri sendiri. Aku semakin ahli menertawakan diri sendiri, karena semakin sulit menemukan hal lain. Kalau saja duduk sendiri dengan waktu tak berjeda bisa jadi nyata, aku ingin saat itu aku bisa menertawakan keadaan dan memaafkan diri sendiri. Bibi Peter Parker pernah bilang kalau hal sederhana tapi sulit adalah memaafkan diri sendiri.
  
            Apakah aku marah pada diriku sendiri? Tidak. Hanya saja aku sadar kalau beberapa pemberontakan tak beralasan yang sering terjadi di dalam diri adalah masalah mengalahkan diri. Aku ingin duduk di kursi itu, menyeruput kopi panas itu, menggigit dan merasakan krim manis cupcake itu, dan menumpahkan pikiran di buku itu. Sembari tersenyum.

Sweet Things


  Kalau waktu benar-benar bisa diputar, aku hanya ingin menikmati lebih lama saat-saat pikiran sedang kosong dan hampa. Saat beban bukan lagi sesuatu yang begitu memberatkan, saat tertawa hanya tertawa, dan waktu yang berjalan jauh dari menyesakkan. Aku ingin duduk sendiri di meja merah muda itu, menikmati secangkir kopi panas dan cupcake manis, dan menulis hal-hal sepele yang mungkin kini akan kutertawakan. Saat ini satu-satunya yang pasti bisa membuat tertawa hanya diri sendiri. Aku semakin ahli menertawakan diri sendiri, karena semakin sulit menemukan hal lain. Kalau saja duduk sendiri dengan waktu tak berjeda bisa jadi nyata, aku ingin saat itu aku bisa menertawakan keadaan dan memaafkan diri sendiri. Bibi Peter Parker pernah bilang kalau hal sederhana tapi sulit adalah memaafkan diri sendiri.
  
            Apakah aku marah pada diriku sendiri? Tidak. Hanya saja aku sadar kalau beberapa pemberontakan tak beralasan yang sering terjadi di dalam diri adalah masalah mengalahkan diri. Aku ingin duduk di kursi itu, menyeruput kopi panas itu, menggigit dan merasakan krim manis cupcake itu, dan menumpahkan pikiran di buku itu. Sembari tersenyum.

Surat Masa Depan

Halo halo, Kekasih!

Aku disini banyak bersia-sia. Bercokol di depan laptop, menyeruput kopi sambil membaca novel, gelundungan di kasur, dan hal-hal nggak berguna lain yang temanya membuang-buang waktu. Itu salah satu keahlianku. Keahlian yang paling bisa membunuhku. Sedang apa kamu sekarang?

Banyak hal yang terjadi. Begitu banyak sampai aku nggak yakin saat mulai kelak akan bisa berhenti. Rasanya sekarang juga ingin membeberkannya padamu, dengan mimik konyolku. Kamu akan tertawa, menertawakanku dalam suka. Saat itu aku pasti jadi wanita paling bahagia. Kamu siap kan mendengar ceritaku sampai pagi?

Teman-temanku bergandengan, nonton film, jalan-jalan dengan pasangannya. Mereka saling menelpon dan menanyakan kabar, saling mengkhawatirkan, saling marah dan menenangkan. Ya ampun, jangan bayangkan apa yang kubayangkan.

Meskipun wujudmu bahkan belum jelas, tapi aku yakin kelak akan membuatkanmu coklat panas setiap pagi, memasak makaroni panggang, menyuruhmu mencuci piring, menyikat WC, kerja bakti tiap minggu. Kedengarannya mengerikan, tapi dijamin asyik kalau sama-sama. Aih, aku mau muntah.

Kamu nggak perlu cepat-cepat datang. Pertemuan itu biar Tuhan yang merancang.

Sampai ketemu di masa depan, Daddy-nya anak-anak!

Surat Masa Depan

Halo halo, Kekasih!

Aku disini banyak bersia-sia. Bercokol di depan laptop, menyeruput kopi sambil membaca novel, gelundungan di kasur, dan hal-hal nggak berguna lain yang temanya membuang-buang waktu. Itu salah satu keahlianku. Keahlian yang paling bisa membunuhku. Sedang apa kamu sekarang?

Banyak hal yang terjadi. Begitu banyak sampai aku nggak yakin saat mulai kelak akan bisa berhenti. Rasanya sekarang juga ingin membeberkannya padamu, dengan mimik konyolku. Kamu akan tertawa, menertawakanku dalam suka. Saat itu aku pasti jadi wanita paling bahagia. Kamu siap kan mendengar ceritaku sampai pagi?

Teman-temanku bergandengan, nonton film, jalan-jalan dengan pasangannya. Mereka saling menelpon dan menanyakan kabar, saling mengkhawatirkan, saling marah dan menenangkan. Ya ampun, jangan bayangkan apa yang kubayangkan.

Meskipun wujudmu bahkan belum jelas, tapi aku yakin kelak akan membuatkanmu coklat panas setiap pagi, memasak makaroni panggang, menyuruhmu mencuci piring, menyikat WC, kerja bakti tiap minggu. Kedengarannya mengerikan, tapi dijamin asyik kalau sama-sama. Aih, aku mau muntah.

Kamu nggak perlu cepat-cepat datang. Pertemuan itu biar Tuhan yang merancang.

Sampai ketemu di masa depan, Daddy-nya anak-anak!

Buku, Kopi, Musik, dan Tuhan


Lagi-lagi ya. Aku memang suka sekali dengan gabungan antara meja yang di atasnya ada kopi dan buku. Selain karena aku suka baca dan cinta kopi, yang terbayang setiap melihat gambar semacam ini cuma suasana tenang dan asyik. Nggak ada yang mengganggu, selama satu atau dua jam cuma manggut-manggut baca sambil menyeruput kopi. Hah! Itu hebat dan bikin kecanduan.

Kalau banyak orang memilih jalan-jalan saat stres, aku justru lebih suka sendirian. Bertarung melawan stres sendiri itu bisa jadi semacam terapi. Rasanya semacam melatih menyembuhkan diri sendiri, jadi kalau-kalau mendadak nggak ada orang untuk berbagi, kita masih dan akan baik-baik saja. Aku bukan tipe penyendiri tapi menyukai saat-saat sendiri. Saat sendiri rasanya pikiran lebih tenang, aku bisa memikirkan banyak hal yang nggak sempat kupikirkan saat bersama orang lain. Saat sedang sendiri dan melamun, rasanya semua hal-hal sepele jadi besar dan penting. Berpikir dan berdialog dengan diri sendiri itu melegakan sekaligus menyembuhkan. Aku belajar dari pengalaman, kalau semua orang punya urusan masing-masing dan nggak setiap saat bisa diganggu. Sebagian dari mereka bahkan malas mendengarkan. Aku lebih suka mengandalkan diri sendiri untuk mendengar diriku sendiri. Diriku sendiri bisa membuka tangan selebar-lebarnya untuk dirinya sendiri.

Tentu saja aku butuh orang lain. Aku punya sahabat, teman dekat, teman-teman, dan yang terpenting aku punya keluarga yang hebat. Tapi mereka nggak selalu bisa disusahkan, nggak selalu bisa untuk menyimak dan mendengarkan. Untuk itulah aku mempersiapkan diri sendiri untuk menjadi dokter jiwa untuk diriku sendiri.

Buku, kopi, dan musik. Entah apa jadinya tanpa mereka. 

Dan yang paling bisa membuat senang saat sendiri adalah perasaan lega pribadi. Seakan yang ada dan hadir hanya aku, diriku sendiri, dan Tuhan. Itu saat-saat yang menyenangkan. Seperti duduk sendirian di pinggir air terjun kecil dengan riak yang tenang. Dan hanya Tuhan yang menyaksikan.

Buku, Kopi, Musik, dan Tuhan


Lagi-lagi ya. Aku memang suka sekali dengan gabungan antara meja yang di atasnya ada kopi dan buku. Selain karena aku suka baca dan cinta kopi, yang terbayang setiap melihat gambar semacam ini cuma suasana tenang dan asyik. Nggak ada yang mengganggu, selama satu atau dua jam cuma manggut-manggut baca sambil menyeruput kopi. Hah! Itu hebat dan bikin kecanduan.

Kalau banyak orang memilih jalan-jalan saat stres, aku justru lebih suka sendirian. Bertarung melawan stres sendiri itu bisa jadi semacam terapi. Rasanya semacam melatih menyembuhkan diri sendiri, jadi kalau-kalau mendadak nggak ada orang untuk berbagi, kita masih dan akan baik-baik saja. Aku bukan tipe penyendiri tapi menyukai saat-saat sendiri. Saat sendiri rasanya pikiran lebih tenang, aku bisa memikirkan banyak hal yang nggak sempat kupikirkan saat bersama orang lain. Saat sedang sendiri dan melamun, rasanya semua hal-hal sepele jadi besar dan penting. Berpikir dan berdialog dengan diri sendiri itu melegakan sekaligus menyembuhkan. Aku belajar dari pengalaman, kalau semua orang punya urusan masing-masing dan nggak setiap saat bisa diganggu. Sebagian dari mereka bahkan malas mendengarkan. Aku lebih suka mengandalkan diri sendiri untuk mendengar diriku sendiri. Diriku sendiri bisa membuka tangan selebar-lebarnya untuk dirinya sendiri.

Tentu saja aku butuh orang lain. Aku punya sahabat, teman dekat, teman-teman, dan yang terpenting aku punya keluarga yang hebat. Tapi mereka nggak selalu bisa disusahkan, nggak selalu bisa untuk menyimak dan mendengarkan. Untuk itulah aku mempersiapkan diri sendiri untuk menjadi dokter jiwa untuk diriku sendiri.

Buku, kopi, dan musik. Entah apa jadinya tanpa mereka. 

Dan yang paling bisa membuat senang saat sendiri adalah perasaan lega pribadi. Seakan yang ada dan hadir hanya aku, diriku sendiri, dan Tuhan. Itu saat-saat yang menyenangkan. Seperti duduk sendirian di pinggir air terjun kecil dengan riak yang tenang. Dan hanya Tuhan yang menyaksikan.