"puaskah kamu sudah merebut kebahagiaanku?"
Puas? Kenapa harus puas? Memangnya ini perlombaan dan kita sedang saling
mengalahkan? Lagipula, memang kau anggap apa bahagiamu hingga saat
bahagia itu hilang, kau dakwa orang lain yang telah merenggutnya.
Bahagiamu kau gantung pada orang lain ya, hingga saat dia pergi
sekonyong-konyong bahagiamu ikut pergi. Aku akan puas sekaligus bahagia
kalau kau puas dengan bahagiamu. Puas?
Seperti titik-titik air di kaca jendela itu. Kau boleh menganggapnya
hujan atau embun, terserah mana persepsimu. Persis seperti apa yang
kaupikirkan, seperti itulah hidupmu akan berkembang. Kalau kau pikir itu
hujan yang baru saja reda, mungkin yang terpikir adalah adegan duduk di
tepinya saat rintikan itu turun dan merambati jendela. Kalau semua itu
ternyata embun yang terlalu banyak hingga seperti ingin membasahi
seluruh jendela, mungkin yang terpikir adalah awal pagi yang terlampau
dingin. Yang mana saja. Bahkan, bila kau pikir itu adalah rindu yang
bergumul jadi satu dan membentuk tetesannya sendiri untuk masuk lewat
jendela kamar, tidak salah juga. Dewi Hera yang menangis karena Dewa
Zeus terlalu sering mengkhianatinya? Gagasan yang kusuka.
Pikiran bisa sempit dan luas, bisa mendadak jadi lapangan selebar dunia
atau kotak perhiasan kecil tanpa sela. Kalau kau mau, pikiran bisa jadi
yang mana saja. Aku lebih senang memikirkan pikiran berbetuk persis
wujudku sendiri. Yang saat sedang kacau, kubayangkan aku sedang
meringkuk sambil memegangi kepala. Yang saat sedang bahagia, kubayangkan
aku sedang tertawa sembari merentang tangan selebar-lebarnya. Kalau
semua sudah kuhubungkan dengan diri sendiri, tentu tak akan kubiarkan
pikiranku menanggung hal-hal tidak penting. Kan?
Bosan dengan "Bahagia itu sederhana", kupikir kini "Bahagia itu diri merdeka".
Bahagiakah kau dengan segala pikiran yang memberatkan itu?
Tidak ada komentar :
Posting Komentar