Senin, 04 Februari 2013

AIR MATA

 
Pikirkan, apakah air mata bisa mengering?
Kalau air mata tidak bisa mengering, kenapa kini tiap kali hujan aku tidak lagi meneteskan butiran hangat itu untukmu. Kenapa tiap kali jendela kamarku berembun karna rintikan, air mataku tidak ikut turun meramaikan. Kenapa tiap kali terdengar suara hujan yang berisik, hati dan mataku tidak lagi terusik. Kenapa tiap kali kupaksakan diriku mengingatmu sekadar memancing air mata, aku malah tak dapat apa-apa.
Ada apa?
Begitulah adanya. Kau menyimpulkan aku mati rasa, kupikir aku hanya sedang tak ingin merasa. Kalau dulu hujan begitu terasa seperti "kita", kini hujan hanya tetesan air dari semesta. Yang kuharap, saat basahnya meresapi kulitmu, kau tahu disitu aku selalu ada. Serpihan aku yang selalu terbawa, tapi kini tanpa air mata.
Kutapaki jalan yang dingin, kakiku ngilu tapi tak terluka. Rasanya sakit hingga ke tulang, rasanya perih tak tertahan. Terlebih saat sekali lagi, aku sadar sakitnya bahkan tak membuatku berairmata. Rasanya remuk tapi aku tak berdaya, bahkan untuk sekadar bilang kalau aku ingin menangis saja, aku terbata-bata.
Aku lelah. Aku kalah.
Air mata tidak bisa mengering, Sayang. Mungkin kini giliranmu berairmata.

AIR MATA

 
Pikirkan, apakah air mata bisa mengering?
Kalau air mata tidak bisa mengering, kenapa kini tiap kali hujan aku tidak lagi meneteskan butiran hangat itu untukmu. Kenapa tiap kali jendela kamarku berembun karna rintikan, air mataku tidak ikut turun meramaikan. Kenapa tiap kali terdengar suara hujan yang berisik, hati dan mataku tidak lagi terusik. Kenapa tiap kali kupaksakan diriku mengingatmu sekadar memancing air mata, aku malah tak dapat apa-apa.
Ada apa?
Begitulah adanya. Kau menyimpulkan aku mati rasa, kupikir aku hanya sedang tak ingin merasa. Kalau dulu hujan begitu terasa seperti "kita", kini hujan hanya tetesan air dari semesta. Yang kuharap, saat basahnya meresapi kulitmu, kau tahu disitu aku selalu ada. Serpihan aku yang selalu terbawa, tapi kini tanpa air mata.
Kutapaki jalan yang dingin, kakiku ngilu tapi tak terluka. Rasanya sakit hingga ke tulang, rasanya perih tak tertahan. Terlebih saat sekali lagi, aku sadar sakitnya bahkan tak membuatku berairmata. Rasanya remuk tapi aku tak berdaya, bahkan untuk sekadar bilang kalau aku ingin menangis saja, aku terbata-bata.
Aku lelah. Aku kalah.
Air mata tidak bisa mengering, Sayang. Mungkin kini giliranmu berairmata.

siapa yang kamu cari ?

 
Alihkan pikiranmu sejenak dari masa depan, kini kuajak kamu menengok lagi ke belakang. Tidak untuk merutuki masa lalu, aku ingin mengajakmu melihat lagi apa-apa yang sudah kamu tinggalkan, siapa-siapa yang sudah kau buang. Ah, biarkan aku menarik nafas dalam terlebih dulu.
Aku hanya teringat ungkapan yang mengatakan kalau kita tidak bisa meraup semua yang diinginkan dalam genggaman tangan. Harus ada yang dilepaskan untuk mengambil yang lain. Kita tidak mungkin memeluk dua bahkan tiga orang dengan nyaman tanpa melepas yang tak terangkul. Harus ada yang berkorban, harus ada yang keluar dari lingkaran. Mirisnya, beberapa orang dan kenangan, pergi karena kita abaikan. Mereka tercabut seperti selenyap kabut. Entah karena kita terlalu rakus akan perhatian hingga terlalu sibuk lalu mereka tak dapat hirauan, atau karena mereka yang cukup tahu diri untuk tiba-tiba menghilang. Dan seperti yang sudah-sudah, saat itulah kehadiran mereka terasa nyata. 
Kamu, ingin seseorang menemanimu di tepian dermaga. Mendengar semua celotehmu, menyiapkan bahunya untuk kepalamu. Kamu sibuk mencari, merutuki diri. Dimana kiranya seseorang itu berada, dimana kamu dapat menemukannya hingga kalian bisa berbagi bersama. Kamu tidak tahu, atau mungkin tidak mau tahu, bahwa ada seseorang, ada beberapa orang yang bahkan berenang di tepian dermaga menantimu. Menunggumu menyambut tangannya, tangan mereka. Melambai padamu, berharap kamu paham kalau sejatinya mereka selalu ada. Sayang kamu malah terlalu sibuk mencari, entah apalagi yang kamu cari.
Mungkin, karena itulah kamu lelah. 
Ada baiknya kamu istirahat, sekadar untuk melihat bahwa di sekelilingmu banyak yang siap memberi pelukan erat. Mungkin yang kamu tunggu bukan pria tinggi, putih, dan berkacamata, bisa jadi dia ternyata berantakan tapi bertingkah seperti pangeran. Mungkin yang kamu tunggu bukan wanita berambut panjang dan berkaki jenjang, bisa jadi dia ternyata berambut mangkuk dengan senyum bak malaikat.
Ada baiknya kamu berhenti, sekadar untuk mensyukuri saat ini. 
Karena bagaimanapun, orang-orang yang ada saat ini, adalah yang bertahan atasmu. Selalu.

siapa yang kamu cari ?

 
Alihkan pikiranmu sejenak dari masa depan, kini kuajak kamu menengok lagi ke belakang. Tidak untuk merutuki masa lalu, aku ingin mengajakmu melihat lagi apa-apa yang sudah kamu tinggalkan, siapa-siapa yang sudah kau buang. Ah, biarkan aku menarik nafas dalam terlebih dulu.
Aku hanya teringat ungkapan yang mengatakan kalau kita tidak bisa meraup semua yang diinginkan dalam genggaman tangan. Harus ada yang dilepaskan untuk mengambil yang lain. Kita tidak mungkin memeluk dua bahkan tiga orang dengan nyaman tanpa melepas yang tak terangkul. Harus ada yang berkorban, harus ada yang keluar dari lingkaran. Mirisnya, beberapa orang dan kenangan, pergi karena kita abaikan. Mereka tercabut seperti selenyap kabut. Entah karena kita terlalu rakus akan perhatian hingga terlalu sibuk lalu mereka tak dapat hirauan, atau karena mereka yang cukup tahu diri untuk tiba-tiba menghilang. Dan seperti yang sudah-sudah, saat itulah kehadiran mereka terasa nyata. 
Kamu, ingin seseorang menemanimu di tepian dermaga. Mendengar semua celotehmu, menyiapkan bahunya untuk kepalamu. Kamu sibuk mencari, merutuki diri. Dimana kiranya seseorang itu berada, dimana kamu dapat menemukannya hingga kalian bisa berbagi bersama. Kamu tidak tahu, atau mungkin tidak mau tahu, bahwa ada seseorang, ada beberapa orang yang bahkan berenang di tepian dermaga menantimu. Menunggumu menyambut tangannya, tangan mereka. Melambai padamu, berharap kamu paham kalau sejatinya mereka selalu ada. Sayang kamu malah terlalu sibuk mencari, entah apalagi yang kamu cari.
Mungkin, karena itulah kamu lelah. 
Ada baiknya kamu istirahat, sekadar untuk melihat bahwa di sekelilingmu banyak yang siap memberi pelukan erat. Mungkin yang kamu tunggu bukan pria tinggi, putih, dan berkacamata, bisa jadi dia ternyata berantakan tapi bertingkah seperti pangeran. Mungkin yang kamu tunggu bukan wanita berambut panjang dan berkaki jenjang, bisa jadi dia ternyata berambut mangkuk dengan senyum bak malaikat.
Ada baiknya kamu berhenti, sekadar untuk mensyukuri saat ini. 
Karena bagaimanapun, orang-orang yang ada saat ini, adalah yang bertahan atasmu. Selalu.

bersama sampai tua



Katakan padaku teman, bahagiakah kamu setelah kita tak lagi berjalan beriringan. Saat kupikir kita lebih dari sekadar kuat untuk menjungkirbalikkan dunia, kamu memutuskan menjungkirbalikkan kita. Dunia kecil kita, yang kupikir akan selalu diramaikan oleh bertiga, kamu acak-acak seenaknya. Kalau saja kamu tahu, saat dunia kita porak poranda, aku hanya bisa menganga. Sebagian dariku berharap ini tidak nyata, sebagian lagi berharap kamu sebaiknya menghilang saja. Memangnya, sahabat mana yang pernah berpikir kalau suatu saat orang terdekatnya, yang seperti sudah melekat begitu rupa, bakal menghilang dan angkat kaki dari belasan tahun bersama.
Karena sungguh, kapan aku pernah memikirkan batas waktu kita bertiga. Bagiku, batas kita adalah selamanya, berbatasan dengan usia. Kemana larinya wisuda, menyaksikan akad nikah, lalu menikah bersama. Kemana larinya khayalan ingin menjodohkan anak-anak kita lalu membangun rumah berdekatan agar bisa selalu bertemu semaunya. Kemana larinya impian lucu untuk tetap menjadi ibu muda yang tak tergerus dunia. Kemana larinya kamu yang dulu percaya kalau kita bisa.
Kamu bilang, kita terlalu berbeda. Memang, kan? Bukankah sejak awal berpegangan tangan bersama, kita memang sudah berbeda. Kupikir justru itulah intinya. Toh, kita selalu bisa menertawakan semuanya. Kamu tahu, aku rindu masa dimana telepon rumah jadi satu-satunya sarana. Aku, kamu, kita, hanya bisa berkomunikasi dengan suara lalu bertatap muka. Karena saat penghubung hanya berupa kata, nyatanya benang kita makin menghilang kemudian seperti terputus begitu saja. Hingga kini, logikaku masih tak terima. Bagaimana bisa, kita yang kupikir untuk selamanya, tahu-tahu lebih asing dari teman biasa.
Kamu, melarikan diri dari lingkaran terdalamku. Kamu, membuat tiga tahu-tahu jadi dua. Kamu, melepaskan tangan lalu lenyap begitu saja. Kamu, entah kini baiknya kusebut apa. 
Untuk pertama kalinya sejak kita sudah tak lagi melangkah bersama, aku berterima kasih atas semua. Kutitipkan doa untukmu, agar kamu tak pernah berjalan sendirian meski kita tak lagi bersisian.
Ayo Rosma, kita bersama sampai tua, ya.

bersama sampai tua



Katakan padaku teman, bahagiakah kamu setelah kita tak lagi berjalan beriringan. Saat kupikir kita lebih dari sekadar kuat untuk menjungkirbalikkan dunia, kamu memutuskan menjungkirbalikkan kita. Dunia kecil kita, yang kupikir akan selalu diramaikan oleh bertiga, kamu acak-acak seenaknya. Kalau saja kamu tahu, saat dunia kita porak poranda, aku hanya bisa menganga. Sebagian dariku berharap ini tidak nyata, sebagian lagi berharap kamu sebaiknya menghilang saja. Memangnya, sahabat mana yang pernah berpikir kalau suatu saat orang terdekatnya, yang seperti sudah melekat begitu rupa, bakal menghilang dan angkat kaki dari belasan tahun bersama.
Karena sungguh, kapan aku pernah memikirkan batas waktu kita bertiga. Bagiku, batas kita adalah selamanya, berbatasan dengan usia. Kemana larinya wisuda, menyaksikan akad nikah, lalu menikah bersama. Kemana larinya khayalan ingin menjodohkan anak-anak kita lalu membangun rumah berdekatan agar bisa selalu bertemu semaunya. Kemana larinya impian lucu untuk tetap menjadi ibu muda yang tak tergerus dunia. Kemana larinya kamu yang dulu percaya kalau kita bisa.
Kamu bilang, kita terlalu berbeda. Memang, kan? Bukankah sejak awal berpegangan tangan bersama, kita memang sudah berbeda. Kupikir justru itulah intinya. Toh, kita selalu bisa menertawakan semuanya. Kamu tahu, aku rindu masa dimana telepon rumah jadi satu-satunya sarana. Aku, kamu, kita, hanya bisa berkomunikasi dengan suara lalu bertatap muka. Karena saat penghubung hanya berupa kata, nyatanya benang kita makin menghilang kemudian seperti terputus begitu saja. Hingga kini, logikaku masih tak terima. Bagaimana bisa, kita yang kupikir untuk selamanya, tahu-tahu lebih asing dari teman biasa.
Kamu, melarikan diri dari lingkaran terdalamku. Kamu, membuat tiga tahu-tahu jadi dua. Kamu, melepaskan tangan lalu lenyap begitu saja. Kamu, entah kini baiknya kusebut apa. 
Untuk pertama kalinya sejak kita sudah tak lagi melangkah bersama, aku berterima kasih atas semua. Kutitipkan doa untukmu, agar kamu tak pernah berjalan sendirian meski kita tak lagi bersisian.
Ayo Rosma, kita bersama sampai tua, ya.

:)


Sayang,
ini penghujung tahun dan kita masih sendiri
masih belum berpegangan tangan
masih sering dan hobi berselisih jalan

Sayang,
ini penghujung tahun dan kita masih begini
masih belum menyadari benar arti hidup
masih suka mengegokan jantung yang berdegup

Sayang, 
ini penghujung tahun dan kita masih beda lini
masih belum tahu harus bagaimana
masih tidak mengerti sepenuhnya tentang rasa

Sayang, 
ini penghujung tahun dan kita masih kurang arti
masih belum terbangun dari galau hujan
masih gagal menghadapi ujian

Sayang, 
ini penghujung tahun, kan? Mari berpelukan.

:)


Sayang,
ini penghujung tahun dan kita masih sendiri
masih belum berpegangan tangan
masih sering dan hobi berselisih jalan

Sayang,
ini penghujung tahun dan kita masih begini
masih belum menyadari benar arti hidup
masih suka mengegokan jantung yang berdegup

Sayang, 
ini penghujung tahun dan kita masih beda lini
masih belum tahu harus bagaimana
masih tidak mengerti sepenuhnya tentang rasa

Sayang, 
ini penghujung tahun dan kita masih kurang arti
masih belum terbangun dari galau hujan
masih gagal menghadapi ujian

Sayang, 
ini penghujung tahun, kan? Mari berpelukan.

Jangan Kalah

"I won't give up on us
Even if the skies get rough
I'm giving you all my love
I'm still looking up, still looking up."
Tentu saja
Aku tidak akan menyerah, tidak akan pernah
Masa depan seperti apa yang ada kalau aku menyerah
Aku akan berusaha agar tidak kalah, berjuang dengan tak lelah
Hingga kakiku memerah, hingga langkahku berdarah, hingga akhir desah
Jadi, kamu juga jangan menyerah
Kamu, sekalipun tidak boleh menyerah
Kamu, sekalipun tidak boleh melemah
Kamu, sekalipun tidak boleh mengaku kalah
Karena aku, juga akan berjuang 
Bersama kamu, di sampingmu, menggenggam tanganmu, mengiringi langkahmu
Karena aku, juga akan berperang
Bersama kamu, meski kelak kita menyerah dan kalah, lalu berpisah
Kita, jangan kalah ya.

Jangan Kalah

"I won't give up on us
Even if the skies get rough
I'm giving you all my love
I'm still looking up, still looking up."
Tentu saja
Aku tidak akan menyerah, tidak akan pernah
Masa depan seperti apa yang ada kalau aku menyerah
Aku akan berusaha agar tidak kalah, berjuang dengan tak lelah
Hingga kakiku memerah, hingga langkahku berdarah, hingga akhir desah
Jadi, kamu juga jangan menyerah
Kamu, sekalipun tidak boleh menyerah
Kamu, sekalipun tidak boleh melemah
Kamu, sekalipun tidak boleh mengaku kalah
Karena aku, juga akan berjuang 
Bersama kamu, di sampingmu, menggenggam tanganmu, mengiringi langkahmu
Karena aku, juga akan berperang
Bersama kamu, meski kelak kita menyerah dan kalah, lalu berpisah
Kita, jangan kalah ya.