Minggu, 09 Desember 2012

Sendiri

"Sayang, lihat!"
Kamu menunjuk girang bulatan matahari yang mulai terik di atas kepala. Sinarnya membuat kulit putihmu kemerahan. Kamu mengeluh sembari menyeka peluh, tapi bibirmu tetap tersenyum penuh. Katamu, alangkah sayangnya kalau bahkan cahaya matahari saja harus dihindari.
"Aku bawa ini,"
Kamu mengeluarkan kotak bekal. Tanpa mengeluarkan kotak bekal untukku, kamu mulai makan sendiri. Dengan mulut penuh, kuikuti gerak mulutmu yang terus bicara sembari mengunyah. Ada nasi di ujung bibir mungil itu. Aku ingin memungutnya dengan bibirku. Ah, khayal busukku.
"Hari ini indah, ya!"
Kamu tertawa. Dengan satu sentakan kecil, kamu mengubah posisi duduk. Aku tidak tahu kenapa. Yang jelas, kamu jadi sangat dekat denganku. Kita berjarak kurang dari sejengkal dan nasi putih yang kamu makan masih menempel di sudut bibir itu.
"Sayang, kamu ada di sini, kan?"
Kamu menyapu sekeliling dengan perlahan dengan mata bulatmu. Mata nanar yang bergetar. Aku melihatmu menelan ludah susah payah, menyaksikan dalam diam kamu yang mulai terisak. Bukan hanya mata, kini bahu dan seluruh badanmu ikut bergetar.
Dan... apa dayaku. Aku terdiam, membatu dalam semua berontakku. Dada kosongku seperti lidah yang kelu, perih berbalut rindu. Jangankan nasi di sudut bibir itu, sekedar menenangkan tangis pilumu, aku tak mampu. Tak akan mampu.
"Hei Sayang, aku pulang, ya,"
Kamu beranjak dari tempat dudukmu. Sembari membereskan kotak bekal, kamu menyeka air mata yang dengan keji terus turun tanpa ampun. Sesaat sebelum kamu melangkah pergi, entah bagaimana, kamu menatap aku.
Menatap ke dalam mataku. Menatap aku yang tergugu. Sangat lama.
"Aku mencintaimu,"
Kamu terus menatapku. Saat tatapan itu meredup, aku berdoa pada Tuhan agar udara yang kering menyampaikan bisik itu di telingamu.
"Aku mencintamu,"
Kamu tersenyum kemudian. Aku tersenyum kelu. Kamu berjalan menjauh, melangkah mantap seperti kemarin-kemarin kamu melakukannya saat berjalan di sampingku.
Tinggal aku disini. Sendiri. Menatap hampa pada nisanku.

Sendiri

"Sayang, lihat!"
Kamu menunjuk girang bulatan matahari yang mulai terik di atas kepala. Sinarnya membuat kulit putihmu kemerahan. Kamu mengeluh sembari menyeka peluh, tapi bibirmu tetap tersenyum penuh. Katamu, alangkah sayangnya kalau bahkan cahaya matahari saja harus dihindari.
"Aku bawa ini,"
Kamu mengeluarkan kotak bekal. Tanpa mengeluarkan kotak bekal untukku, kamu mulai makan sendiri. Dengan mulut penuh, kuikuti gerak mulutmu yang terus bicara sembari mengunyah. Ada nasi di ujung bibir mungil itu. Aku ingin memungutnya dengan bibirku. Ah, khayal busukku.
"Hari ini indah, ya!"
Kamu tertawa. Dengan satu sentakan kecil, kamu mengubah posisi duduk. Aku tidak tahu kenapa. Yang jelas, kamu jadi sangat dekat denganku. Kita berjarak kurang dari sejengkal dan nasi putih yang kamu makan masih menempel di sudut bibir itu.
"Sayang, kamu ada di sini, kan?"
Kamu menyapu sekeliling dengan perlahan dengan mata bulatmu. Mata nanar yang bergetar. Aku melihatmu menelan ludah susah payah, menyaksikan dalam diam kamu yang mulai terisak. Bukan hanya mata, kini bahu dan seluruh badanmu ikut bergetar.
Dan... apa dayaku. Aku terdiam, membatu dalam semua berontakku. Dada kosongku seperti lidah yang kelu, perih berbalut rindu. Jangankan nasi di sudut bibir itu, sekedar menenangkan tangis pilumu, aku tak mampu. Tak akan mampu.
"Hei Sayang, aku pulang, ya,"
Kamu beranjak dari tempat dudukmu. Sembari membereskan kotak bekal, kamu menyeka air mata yang dengan keji terus turun tanpa ampun. Sesaat sebelum kamu melangkah pergi, entah bagaimana, kamu menatap aku.
Menatap ke dalam mataku. Menatap aku yang tergugu. Sangat lama.
"Aku mencintaimu,"
Kamu terus menatapku. Saat tatapan itu meredup, aku berdoa pada Tuhan agar udara yang kering menyampaikan bisik itu di telingamu.
"Aku mencintamu,"
Kamu tersenyum kemudian. Aku tersenyum kelu. Kamu berjalan menjauh, melangkah mantap seperti kemarin-kemarin kamu melakukannya saat berjalan di sampingku.
Tinggal aku disini. Sendiri. Menatap hampa pada nisanku.

Jumat, 07 Desember 2012

Air Mata

Pikirkan, apakah air mata bisa mengering?
Kalau air mata tidak bisa mengering, kenapa kini tiap kali hujan aku tidak lagi meneteskan butiran hangat itu untukmu. Kenapa tiap kali jendela kamarku berembun karna rintikan, air mataku tidak ikut turun meramaikan. Kenapa tiap kali terdengar suara hujan yang berisik, hati dan mataku tidak lagi terusik. Kenapa tiap kali kupaksakan diriku mengingatmu sekadar memancing air mata, aku malah tak dapat apa-apa.
Ada apa?
Begitulah adanya. Kau menyimpulkan aku mati rasa, kupikir aku hanya sedang tak ingin merasa. Kalau dulu hujan begitu terasa seperti "kita", kini hujan hanya tetesan air dari semesta. Yang kuharap, saat basahnya meresapi kulitmu, kau tahu disitu aku selalu ada. Serpihan aku yang selalu terbawa, tapi kini tanpa air mata.
Kutapaki jalan yang dingin, kakiku ngilu tapi tak terluka. Rasanya sakit hingga ke tulang, rasanya perih tak tertahan. Terlebih saat sekali lagi, aku sadar sakitnya bahkan tak membuatku berairmata. Rasanya remuk tapi aku tak berdaya, bahkan untuk sekadar bilang kalau aku ingin menangis saja, aku terbata-bata.
Aku lelah. Aku kalah.
Air mata tidak bisa mengering, Sayang. Mungkin kini giliranmu berairmata.

Air Mata

Pikirkan, apakah air mata bisa mengering?
Kalau air mata tidak bisa mengering, kenapa kini tiap kali hujan aku tidak lagi meneteskan butiran hangat itu untukmu. Kenapa tiap kali jendela kamarku berembun karna rintikan, air mataku tidak ikut turun meramaikan. Kenapa tiap kali terdengar suara hujan yang berisik, hati dan mataku tidak lagi terusik. Kenapa tiap kali kupaksakan diriku mengingatmu sekadar memancing air mata, aku malah tak dapat apa-apa.
Ada apa?
Begitulah adanya. Kau menyimpulkan aku mati rasa, kupikir aku hanya sedang tak ingin merasa. Kalau dulu hujan begitu terasa seperti "kita", kini hujan hanya tetesan air dari semesta. Yang kuharap, saat basahnya meresapi kulitmu, kau tahu disitu aku selalu ada. Serpihan aku yang selalu terbawa, tapi kini tanpa air mata.
Kutapaki jalan yang dingin, kakiku ngilu tapi tak terluka. Rasanya sakit hingga ke tulang, rasanya perih tak tertahan. Terlebih saat sekali lagi, aku sadar sakitnya bahkan tak membuatku berairmata. Rasanya remuk tapi aku tak berdaya, bahkan untuk sekadar bilang kalau aku ingin menangis saja, aku terbata-bata.
Aku lelah. Aku kalah.
Air mata tidak bisa mengering, Sayang. Mungkin kini giliranmu berairmata.

Kamis, 06 Desember 2012

Air Mata

Pikirkan, apakah air mata bisa mengering?
Kalau air mata tidak bisa mengering, kenapa kini tiap kali hujan aku tidak lagi meneteskan butiran hangat itu untukmu. Kenapa tiap kali jendela kamarku berembun karna rintikan, air mataku tidak ikut turun meramaikan. Kenapa tiap kali terdengar suara hujan yang berisik, hati dan mataku tidak lagi terusik. Kenapa tiap kali kupaksakan diriku mengingatmu sekadar memancing air mata, aku malah tak dapat apa-apa.
Ada apa?
Begitulah adanya. Kau menyimpulkan aku mati rasa, kupikir aku hanya sedang tak ingin merasa. Kalau dulu hujan begitu terasa seperti "kita", kini hujan hanya tetesan air dari semesta. Yang kuharap, saat basahnya meresapi kulitmu, kau tahu disitu aku selalu ada. Serpihan aku yang selalu terbawa, tapi kini tanpa air mata.
Kutapaki jalan yang dingin, kakiku ngilu tapi tak terluka. Rasanya sakit hingga ke tulang, rasanya perih tak tertahan. Terlebih saat sekali lagi, aku sadar sakitnya bahkan tak membuatku berairmata. Rasanya remuk tapi aku tak berdaya, bahkan untuk sekadar bilang kalau aku ingin menangis saja, aku terbata-bata.
Aku lelah. Aku kalah.
Air mata tidak bisa mengering, Sayang. Mungkin kini giliranmu berairmata.

Air Mata

Pikirkan, apakah air mata bisa mengering?
Kalau air mata tidak bisa mengering, kenapa kini tiap kali hujan aku tidak lagi meneteskan butiran hangat itu untukmu. Kenapa tiap kali jendela kamarku berembun karna rintikan, air mataku tidak ikut turun meramaikan. Kenapa tiap kali terdengar suara hujan yang berisik, hati dan mataku tidak lagi terusik. Kenapa tiap kali kupaksakan diriku mengingatmu sekadar memancing air mata, aku malah tak dapat apa-apa.
Ada apa?
Begitulah adanya. Kau menyimpulkan aku mati rasa, kupikir aku hanya sedang tak ingin merasa. Kalau dulu hujan begitu terasa seperti "kita", kini hujan hanya tetesan air dari semesta. Yang kuharap, saat basahnya meresapi kulitmu, kau tahu disitu aku selalu ada. Serpihan aku yang selalu terbawa, tapi kini tanpa air mata.
Kutapaki jalan yang dingin, kakiku ngilu tapi tak terluka. Rasanya sakit hingga ke tulang, rasanya perih tak tertahan. Terlebih saat sekali lagi, aku sadar sakitnya bahkan tak membuatku berairmata. Rasanya remuk tapi aku tak berdaya, bahkan untuk sekadar bilang kalau aku ingin menangis saja, aku terbata-bata.
Aku lelah. Aku kalah.
Air mata tidak bisa mengering, Sayang. Mungkin kini giliranmu berairmata.

Rabu, 05 Desember 2012

Siapa yang Kamu Cari?

Alihkan pikiranmu sejenak dari masa depan, kini kuajak kamu menengok lagi ke belakang. Tidak untuk merutuki masa lalu, aku ingin mengajakmu melihat lagi apa-apa yang sudah kamu tinggalkan, siapa-siapa yang sudah kau buang. Ah, biarkan aku menarik nafas dalam terlebih dulu.
Aku hanya teringat ungkapan yang mengatakan kalau kita tidak bisa meraup semua yang diinginkan dalam genggaman tangan. Harus ada yang dilepaskan untuk mengambil yang lain. Kita tidak mungkin memeluk dua bahkan tiga orang dengan nyaman tanpa melepas yang tak terangkul. Harus ada yang berkorban, harus ada yang keluar dari lingkaran. Mirisnya, beberapa orang dan kenangan, pergi karena kita abaikan. Mereka tercabut seperti selenyap kabut. Entah karena kita terlalu rakus akan perhatian hingga terlalu sibuk lalu mereka tak dapat hirauan, atau karena mereka yang cukup tahu diri untuk tiba-tiba menghilang. Dan seperti yang sudah-sudah, saat itulah kehadiran mereka terasa nyata. 
Kamu, ingin seseorang menemanimu di tepian dermaga. Mendengar semua celotehmu, menyiapkan bahunya untuk kepalamu. Kamu sibuk mencari, merutuki diri. Dimana kiranya seseorang itu berada, dimana kamu dapat menemukannya hingga kalian bisa berbagi bersama. Kamu tidak tahu, atau mungkin tidak mau tahu, bahwa ada seseorang, ada beberapa orang yang bahkan berenang di tepian dermaga menantimu. Menunggumu menyambut tangannya, tangan mereka. Melambai padamu, berharap kamu paham kalau sejatinya mereka selalu ada. Sayang kamu malah terlalu sibuk mencari, entah apalagi yang kamu cari.
Mungkin, karena itulah kamu lelah. 
Ada baiknya kamu istirahat, sekadar untuk melihat bahwa di sekelilingmu banyak yang siap memberi pelukan erat. Mungkin yang kamu tunggu bukan pria tinggi, putih, dan berkacamata, bisa jadi dia ternyata berantakan tapi bertingkah seperti pangeran. Mungkin yang kamu tunggu bukan wanita berambut panjang dan berkaki jenjang, bisa jadi dia ternyata berambut mangkuk dengan senyum bak malaikat.
Ada baiknya kamu berhenti, sekadar untuk mensyukuri saat ini. 
Karena bagaimanapun, orang-orang yang ada saat ini, adalah yang bertahan atasmu. Selalu.

Siapa yang Kamu Cari?

Alihkan pikiranmu sejenak dari masa depan, kini kuajak kamu menengok lagi ke belakang. Tidak untuk merutuki masa lalu, aku ingin mengajakmu melihat lagi apa-apa yang sudah kamu tinggalkan, siapa-siapa yang sudah kau buang. Ah, biarkan aku menarik nafas dalam terlebih dulu.
Aku hanya teringat ungkapan yang mengatakan kalau kita tidak bisa meraup semua yang diinginkan dalam genggaman tangan. Harus ada yang dilepaskan untuk mengambil yang lain. Kita tidak mungkin memeluk dua bahkan tiga orang dengan nyaman tanpa melepas yang tak terangkul. Harus ada yang berkorban, harus ada yang keluar dari lingkaran. Mirisnya, beberapa orang dan kenangan, pergi karena kita abaikan. Mereka tercabut seperti selenyap kabut. Entah karena kita terlalu rakus akan perhatian hingga terlalu sibuk lalu mereka tak dapat hirauan, atau karena mereka yang cukup tahu diri untuk tiba-tiba menghilang. Dan seperti yang sudah-sudah, saat itulah kehadiran mereka terasa nyata. 
Kamu, ingin seseorang menemanimu di tepian dermaga. Mendengar semua celotehmu, menyiapkan bahunya untuk kepalamu. Kamu sibuk mencari, merutuki diri. Dimana kiranya seseorang itu berada, dimana kamu dapat menemukannya hingga kalian bisa berbagi bersama. Kamu tidak tahu, atau mungkin tidak mau tahu, bahwa ada seseorang, ada beberapa orang yang bahkan berenang di tepian dermaga menantimu. Menunggumu menyambut tangannya, tangan mereka. Melambai padamu, berharap kamu paham kalau sejatinya mereka selalu ada. Sayang kamu malah terlalu sibuk mencari, entah apalagi yang kamu cari.
Mungkin, karena itulah kamu lelah. 
Ada baiknya kamu istirahat, sekadar untuk melihat bahwa di sekelilingmu banyak yang siap memberi pelukan erat. Mungkin yang kamu tunggu bukan pria tinggi, putih, dan berkacamata, bisa jadi dia ternyata berantakan tapi bertingkah seperti pangeran. Mungkin yang kamu tunggu bukan wanita berambut panjang dan berkaki jenjang, bisa jadi dia ternyata berambut mangkuk dengan senyum bak malaikat.
Ada baiknya kamu berhenti, sekadar untuk mensyukuri saat ini. 
Karena bagaimanapun, orang-orang yang ada saat ini, adalah yang bertahan atasmu. Selalu.

Selasa, 04 Desember 2012

Aku, November, dan Tuhan

“Seperti titik air hujan yang jatuh menghantam Bumi,
seperti itulah aku yang tak mati meski jatuh berkali-kali.”


27 November

“Kau tahu seperti apa rasanya dikhianati oleh orang yang kaupikir paling bisa kaupercayai? Kau tidak mungkin tahu. Kau bahkan tak punya hati.”

Aku tergugu dalam hening, sendiri. Menatap hampa pada quote di blog pribadi November. Quote yang seakan tak memiliki arti, tapi aku tahu itu untukku. Aku bisa tahu mana saja kalimat yang ditujukkan padaku. Tak perlu dia menulis sesuatu yang berbau namaku. Aku bisa melihat air mata darah di ujung kalimat-kalimat itu. Kutulis kalimat balasan di blog milikku, sama sekali tak berharap perhatian terlebih balasan darinya.

“Yang hidup dan yang bernyawa, punya rasa untuk dipilih dan dijaga.”

Kuputar Stereo Hearts dengan keras, membangunkan ingatan tentang November yang kini mungkin sedang meronta sesak. Dia suka Adam Levine. Begitu lagu mengalun, bukan suara Adam melainkan suara November yang terdengar. Mengayun syahdu sekaligus mengerikan.


28 November

“Lebih baik kita tak pernah bertemu jika semua pertemuan berbuah sakit dan berujung jurang. Kau yang berjalan menukik, tapi aku yang terperosok.”

Scarlet tertawa manja di seberang telepon, sementara aku terduduk tanpa nyawa di depan komputer dengan tanda tanya sebesar dunia. Apa yang selama ini kulakukan. Apa yang sebenarnya sedang kulakukan. Apa yang aku dan Scarlet telah lakukan.

Aku dan November pernah berdua menjalin sesuatu yang tak terlihat. Yang jika jalinan itu adalah wol, gulungannya akan sanggup menerbangkan layang-layang ke langit Zeus.

November dan Scarlet seperti sepasang gulali merah muda yang manis. Hanya saja November lebih halus sementara Scarlet lebih pekat. Mereka seperti halaman kertas, bertolak belakang tapi satu dan tak terpisahkan.

Aku jatuh cinta pada November.

Tapi tak pernah terpikir akan jatuh juga pada Scarlet.

Scarlet membuat lelucon tanpa hati tentang nama November. Di sela tawa-dan entah kenapa aku masih tega tertawa, kuketikkan lirik Rindu di blog. Kepala yang harusnya penuh terasa kosong dan hancur.

“Dalam hati, kupanggil namamu. Semoga saja kau dengar dan merasakan.”

Scarlet menertawakan November yang seperti tak bisa bangkit lagi. Terkutuknya, aku ikut tertawa bersamanya. Menertawakan November atau diriku sendiri, aku sudah tak tahu lagi.


29 November

“Aku pernah meletakkan namamu di bagian terbesar hati dan pikiranku. Aku gila tapi aku bahkan tak peduli. Tidak bisakah kau, yang pernah mendekap sekaligus menginjakku, sedikit saja merenung? Aku tidak tahu kenapa Tuhan mempertemukan kita.”

Kalau kuasa Tuhan ada di tanganku, aku yang keparat ini hanya ingin meminta Bumi terbelah dan menelanku. Tak masalah jika kelak aku jadi pendosa paling hebat, aku hanya tak ingin berada disini. Pertanyaan itu, yang nyalanya menghanguskan nyaliku, membuat semua rasa bersalah luruh memenuhi darah.

Aku, yang tak bisa menampik Scarlet, yang terlalu serakah untuk melepaskan November, mestinya sudah pudar menjadi debu.
Scarlet bilang aku tak perlu merasa bersalah. Aku bukan pengkhianat. Kami berdua tak menyakiti November. Semua ini hanya pilihan dan November yang harus terkorban.

Awalnya itu menyembuhkan, tapi kini itu tak lebih dari sekedar pembenaran.

“Maafkan aku, Novy.”

Kalimat itu jelas-jelas terpampang di blog. Dengan subjek yang terang-terangan. Scarlet akan marah besar sementara November tak peduli, aku sudah tak ambil pusing. Permintaan maafku sama sekali bukan untuk merebut hati November kembali.

Sekalinya  jadi pecundang, aku tahu selamanya tak akan pernah menang.


30 November

“Dari kawan menjadi lawan. Kita memang lebih baik tak pernah bersama, kan?”

Wanita ini, yang tiga tahun lalu kudekati dan kujejali dengan segunung perhatian dan sayang, sedang menantangku untuk berdebat prinsip dan harga diri dengannya. Aku sudah menginjaknya hingga yang tersisa darinya tinggal logika yang meronta.

“Tidak ada yang salah dengan mencintai orang yang salah.”

Sepuluh menit kemudian kulihat November mengetikkan kalimat lain.

“Bicaramu mudah. Bukan kau yang tergeletak kalah.”

Ponselku berdering dengan nama Scarlet kedap-kedip di layar besarnya. Seakan tak mau ketinggalan urusanku dan November yang sedang dimulai.

“Aku sudah kalah dan kau yang paling tahu itu.”

Sejenak kupikir November akan membalas dengan makian yang tertumpuk dan mengerak di hatinya. Sebaris kalimat darinya membuat sendiku ngilu dan hilang rasa.

“Untuk itulah aku terus berdoa untuk bahagiamu. Sekarang, lepaskan aku.”

Aku merangkai kalimat dengan sedikit gemetar, pelupukku penuh lelehan perasaan keji yang hampir tumpah. Kubayangkan November meringkuk dalam perih, bahu kecilnya bergetar menahan gelombang besar yang aku dan Scarlet ciptakan.

“Selamat tinggal, November.”

“Ini cerita antara aku, kau, dan Tuhan.
Kalau kau berhenti dan mengabaikan, Tuhan ada untuk menyelesaikan.”

Aku, November, dan Tuhan

“Seperti titik air hujan yang jatuh menghantam Bumi,
seperti itulah aku yang tak mati meski jatuh berkali-kali.”


27 November

“Kau tahu seperti apa rasanya dikhianati oleh orang yang kaupikir paling bisa kaupercayai? Kau tidak mungkin tahu. Kau bahkan tak punya hati.”

Aku tergugu dalam hening, sendiri. Menatap hampa pada quote di blog pribadi November. Quote yang seakan tak memiliki arti, tapi aku tahu itu untukku. Aku bisa tahu mana saja kalimat yang ditujukkan padaku. Tak perlu dia menulis sesuatu yang berbau namaku. Aku bisa melihat air mata darah di ujung kalimat-kalimat itu. Kutulis kalimat balasan di blog milikku, sama sekali tak berharap perhatian terlebih balasan darinya.

“Yang hidup dan yang bernyawa, punya rasa untuk dipilih dan dijaga.”

Kuputar Stereo Hearts dengan keras, membangunkan ingatan tentang November yang kini mungkin sedang meronta sesak. Dia suka Adam Levine. Begitu lagu mengalun, bukan suara Adam melainkan suara November yang terdengar. Mengayun syahdu sekaligus mengerikan.


28 November

“Lebih baik kita tak pernah bertemu jika semua pertemuan berbuah sakit dan berujung jurang. Kau yang berjalan menukik, tapi aku yang terperosok.”

Scarlet tertawa manja di seberang telepon, sementara aku terduduk tanpa nyawa di depan komputer dengan tanda tanya sebesar dunia. Apa yang selama ini kulakukan. Apa yang sebenarnya sedang kulakukan. Apa yang aku dan Scarlet telah lakukan.

Aku dan November pernah berdua menjalin sesuatu yang tak terlihat. Yang jika jalinan itu adalah wol, gulungannya akan sanggup menerbangkan layang-layang ke langit Zeus.

November dan Scarlet seperti sepasang gulali merah muda yang manis. Hanya saja November lebih halus sementara Scarlet lebih pekat. Mereka seperti halaman kertas, bertolak belakang tapi satu dan tak terpisahkan.

Aku jatuh cinta pada November.

Tapi tak pernah terpikir akan jatuh juga pada Scarlet.

Scarlet membuat lelucon tanpa hati tentang nama November. Di sela tawa-dan entah kenapa aku masih tega tertawa, kuketikkan lirik Rindu di blog. Kepala yang harusnya penuh terasa kosong dan hancur.

“Dalam hati, kupanggil namamu. Semoga saja kau dengar dan merasakan.”

Scarlet menertawakan November yang seperti tak bisa bangkit lagi. Terkutuknya, aku ikut tertawa bersamanya. Menertawakan November atau diriku sendiri, aku sudah tak tahu lagi.


29 November

“Aku pernah meletakkan namamu di bagian terbesar hati dan pikiranku. Aku gila tapi aku bahkan tak peduli. Tidak bisakah kau, yang pernah mendekap sekaligus menginjakku, sedikit saja merenung? Aku tidak tahu kenapa Tuhan mempertemukan kita.”

Kalau kuasa Tuhan ada di tanganku, aku yang keparat ini hanya ingin meminta Bumi terbelah dan menelanku. Tak masalah jika kelak aku jadi pendosa paling hebat, aku hanya tak ingin berada disini. Pertanyaan itu, yang nyalanya menghanguskan nyaliku, membuat semua rasa bersalah luruh memenuhi darah.

Aku, yang tak bisa menampik Scarlet, yang terlalu serakah untuk melepaskan November, mestinya sudah pudar menjadi debu.
Scarlet bilang aku tak perlu merasa bersalah. Aku bukan pengkhianat. Kami berdua tak menyakiti November. Semua ini hanya pilihan dan November yang harus terkorban.

Awalnya itu menyembuhkan, tapi kini itu tak lebih dari sekedar pembenaran.

“Maafkan aku, Novy.”

Kalimat itu jelas-jelas terpampang di blog. Dengan subjek yang terang-terangan. Scarlet akan marah besar sementara November tak peduli, aku sudah tak ambil pusing. Permintaan maafku sama sekali bukan untuk merebut hati November kembali.

Sekalinya  jadi pecundang, aku tahu selamanya tak akan pernah menang.


30 November

“Dari kawan menjadi lawan. Kita memang lebih baik tak pernah bersama, kan?”

Wanita ini, yang tiga tahun lalu kudekati dan kujejali dengan segunung perhatian dan sayang, sedang menantangku untuk berdebat prinsip dan harga diri dengannya. Aku sudah menginjaknya hingga yang tersisa darinya tinggal logika yang meronta.

“Tidak ada yang salah dengan mencintai orang yang salah.”

Sepuluh menit kemudian kulihat November mengetikkan kalimat lain.

“Bicaramu mudah. Bukan kau yang tergeletak kalah.”

Ponselku berdering dengan nama Scarlet kedap-kedip di layar besarnya. Seakan tak mau ketinggalan urusanku dan November yang sedang dimulai.

“Aku sudah kalah dan kau yang paling tahu itu.”

Sejenak kupikir November akan membalas dengan makian yang tertumpuk dan mengerak di hatinya. Sebaris kalimat darinya membuat sendiku ngilu dan hilang rasa.

“Untuk itulah aku terus berdoa untuk bahagiamu. Sekarang, lepaskan aku.”

Aku merangkai kalimat dengan sedikit gemetar, pelupukku penuh lelehan perasaan keji yang hampir tumpah. Kubayangkan November meringkuk dalam perih, bahu kecilnya bergetar menahan gelombang besar yang aku dan Scarlet ciptakan.

“Selamat tinggal, November.”

“Ini cerita antara aku, kau, dan Tuhan.
Kalau kau berhenti dan mengabaikan, Tuhan ada untuk menyelesaikan.”

Minggu, 02 Desember 2012

Bersama Sampai Tua




Katakan padaku teman, bahagiakah kamu setelah kita tak lagi berjalan beriringan. Saat kupikir kita lebih dari sekadar kuat untuk menjungkirbalikkan dunia, kamu memutuskan menjungkirbalikkan kita. Dunia kecil kita, yang kupikir akan selalu diramaikan oleh bertiga, kamu acak-acak seenaknya. Kalau saja kamu tahu, saat dunia kita porak poranda, aku hanya bisa menganga. Sebagian dariku berharap ini tidak nyata, sebagian lagi berharap kamu sebaiknya menghilang saja. Memangnya, sahabat mana yang pernah berpikir kalau suatu saat orang terdekatnya, yang seperti sudah melekat begitu rupa, bakal menghilang dan angkat kaki dari belasan tahun bersama.
Karena sungguh, kapan aku pernah memikirkan batas waktu kita bertiga. Bagiku, batas kita adalah selamanya, berbatasan dengan usia. Kemana larinya wisuda, menyaksikan akad nikah, lalu menikah bersama. Kemana larinya khayalan ingin menjodohkan anak-anak kita lalu membangun rumah berdekatan agar bisa selalu bertemu semaunya. Kemana larinya impian lucu untuk tetap menjadi ibu muda yang tak tergerus dunia. Kemana larinya kamu yang dulu percaya kalau kita bisa.
Kamu bilang, kita terlalu berbeda. Memang, kan? Bukankah sejak awal berpegangan tangan bersama, kita memang sudah berbeda. Kupikir justru itulah intinya. Toh, kita selalu bisa menertawakan semuanya. Kamu tahu, aku rindu masa dimana telepon rumah jadi satu-satunya sarana. Aku, kamu, kita, hanya bisa berkomunikasi dengan suara lalu bertatap muka. Karena saat penghubung hanya berupa kata, nyatanya benang kita makin menghilang kemudian seperti terputus begitu saja. Hingga kini, logikaku masih tak terima. Bagaimana bisa, kita yang kupikir untuk selamanya, tahu-tahu lebih asing dari teman biasa.
Kamu, melarikan diri dari lingkaran terdalamku. Kamu, membuat tiga tahu-tahu jadi dua. Kamu, melepaskan tangan lalu lenyap begitu saja. Kamu, entah kini baiknya kusebut apa. 
Untuk pertama kalinya sejak kita sudah tak lagi melangkah bersama, aku berterima kasih atas semua. Kutitipkan doa untukmu, agar kamu tak pernah berjalan sendirian meski kita tak lagi bersisian.
Ayo Rosma, kita bersama sampai tua, ya.

Bersama Sampai Tua




Katakan padaku teman, bahagiakah kamu setelah kita tak lagi berjalan beriringan. Saat kupikir kita lebih dari sekadar kuat untuk menjungkirbalikkan dunia, kamu memutuskan menjungkirbalikkan kita. Dunia kecil kita, yang kupikir akan selalu diramaikan oleh bertiga, kamu acak-acak seenaknya. Kalau saja kamu tahu, saat dunia kita porak poranda, aku hanya bisa menganga. Sebagian dariku berharap ini tidak nyata, sebagian lagi berharap kamu sebaiknya menghilang saja. Memangnya, sahabat mana yang pernah berpikir kalau suatu saat orang terdekatnya, yang seperti sudah melekat begitu rupa, bakal menghilang dan angkat kaki dari belasan tahun bersama.
Karena sungguh, kapan aku pernah memikirkan batas waktu kita bertiga. Bagiku, batas kita adalah selamanya, berbatasan dengan usia. Kemana larinya wisuda, menyaksikan akad nikah, lalu menikah bersama. Kemana larinya khayalan ingin menjodohkan anak-anak kita lalu membangun rumah berdekatan agar bisa selalu bertemu semaunya. Kemana larinya impian lucu untuk tetap menjadi ibu muda yang tak tergerus dunia. Kemana larinya kamu yang dulu percaya kalau kita bisa.
Kamu bilang, kita terlalu berbeda. Memang, kan? Bukankah sejak awal berpegangan tangan bersama, kita memang sudah berbeda. Kupikir justru itulah intinya. Toh, kita selalu bisa menertawakan semuanya. Kamu tahu, aku rindu masa dimana telepon rumah jadi satu-satunya sarana. Aku, kamu, kita, hanya bisa berkomunikasi dengan suara lalu bertatap muka. Karena saat penghubung hanya berupa kata, nyatanya benang kita makin menghilang kemudian seperti terputus begitu saja. Hingga kini, logikaku masih tak terima. Bagaimana bisa, kita yang kupikir untuk selamanya, tahu-tahu lebih asing dari teman biasa.
Kamu, melarikan diri dari lingkaran terdalamku. Kamu, membuat tiga tahu-tahu jadi dua. Kamu, melepaskan tangan lalu lenyap begitu saja. Kamu, entah kini baiknya kusebut apa. 
Untuk pertama kalinya sejak kita sudah tak lagi melangkah bersama, aku berterima kasih atas semua. Kutitipkan doa untukmu, agar kamu tak pernah berjalan sendirian meski kita tak lagi bersisian.
Ayo Rosma, kita bersama sampai tua, ya.

Sabtu, 01 Desember 2012

Sayang,
ini penghujung tahun dan kita masih sendiri
masih belum berpegangan tangan
masih sering dan hobi berselisih jalan

Sayang,
ini penghujung tahun dan kita masih begini
masih belum menyadari benar arti hidup
masih suka mengegokan jantung yang berdegup

Sayang, 
ini penghujung tahun dan kita masih beda lini
masih belum tahu harus bagaimana
masih tidak mengerti sepenuhnya tentang rasa

Sayang, 
ini penghujung tahun dan kita masih kurang arti
masih belum terbangun dari galau hujan
masih gagal menghadapi ujian

Sayang, 
ini penghujung tahun, kan? Mari berpelukan
Sayang,
ini penghujung tahun dan kita masih sendiri
masih belum berpegangan tangan
masih sering dan hobi berselisih jalan

Sayang,
ini penghujung tahun dan kita masih begini
masih belum menyadari benar arti hidup
masih suka mengegokan jantung yang berdegup

Sayang, 
ini penghujung tahun dan kita masih beda lini
masih belum tahu harus bagaimana
masih tidak mengerti sepenuhnya tentang rasa

Sayang, 
ini penghujung tahun dan kita masih kurang arti
masih belum terbangun dari galau hujan
masih gagal menghadapi ujian

Sayang, 
ini penghujung tahun, kan? Mari berpelukan